5:30 PM, The Butterfly Effect.
Tepat di bawah pepohonan akasia, Naia duduk seorang diri sambil memejamkan mata. Menikmati alunan lagu yang terputar dari playlist di ponsel sembari menunggu Naka. Lelaki itu bilang ingin bertemu di sekitar pelataran kampus saat sore hari tiba, maka disinilah Naia berada.
To: Kian
lo bener ki, gue udah gak ada rasa sama kemal. gue beneran berpaling ke naka. thanks udah nyadarin gue.
Pesan itu dikirim oleh Naia ke nomor Kian, udah dari setengah jam yang lalu tapi belum juga mendapat balasan. Naia mengerti Kian sibuk, tapi ia gak menyangka kalo Kian bisa se-slow respond ini.
Sinar mentari menembus daun pepohonan kala Naia membuka kedua mata, mencari sosok yang sampai saat ini tak kunjung datang. Begitu Naia beranjak bangun dari bangku, Naka tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
“Ah kaget!” seru Naia, reflek terduduk kembali.
Naka menghembuskan napas pelan sambil mengulurkan tangan, membantu Naia berdiri. Dengan senang hati Naia menyambut uluran tangan itu. Namun, keliatannya ada yang salah disini.
Naka gak kunjung melepas tautan tangan mereka.
“Ka,” tegur Naia pelan.
“Let me straight to the point,” kata Naka sambil menatap jari jemari Naia lekat-lekat. Entah apa yang dilihatnya disana. Naia bahkan gak tau apa yang menarik dari jemari lentik yang kukunya bahkan belum sempat dipotong dari seminggu yang lalu.
Dan yang paling aneh disini, Naka memperhatikan jemari Naia seperti ada sihir yang mengontrol lelaki itu untuk bertindak demikian.
Kemudian Naka membawa telapak tangan Naia menuju dadanya. Membiarkan gadis itu merasakan bagaimana jantung Naka berdetak kencang di dalam sana. “This is my heartbeat everytime I see your existence. I don't know why it always goes like this.”
Naia tertegun dalam diam, ternyata bukan cuma dia yang merasakan hal ini. Telapak tangan kirinya jadi kaku saat bersentuhan dengan kemeja Naka. Disaat yang sama, punggung tangan Naia dielus dengan lembut seolah itu adalah benda yang bisa rapuh kapan saja.
“Gue gak tau kenapa tiap liat eksistensi lo rasanya udah bahagia. Padahal lo cuma diem, berdiri disini, atau biasanya lagi duduk sambil dengerin lagu, tapi gue bahagia. Mungkin karena gue tau lo hidup, lo ada di bumi ini, lo masih bisa gue tatap pake kedua mata gue dan masih bisa gue sentuh. And I feel very blessed because of that.“
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Naia. Bahkan untuk menggerakkan bibir aja, Naia gak bisa.
“Di hari pertama kali gue liat lo, gue langsung inget sama Nasa. Kalian berdua mirip, bahkan waktu gue ketemu lagi sama lo di toko bunga, gue bisa tau lo suka bunga anyelir lewat tatapan mata lo,” kata Naka lagi, kini ia berhenti mengelus punggung tangan Naia. “Itu tatapan yang sama tiap gue bawain bunga anyelir buat Nasa waktu dia masih hidup.”
Naia beralih pandang saat Naka mulai mendekat, wajah mereka mungkin hanya berjarak beberapa senti meter. Naka jelas menunduk sedikit demi mensejajarkan tingginya dengan tinggi Naia.
“Karena alesan itu juga, gue jadi sering merhatiin lo diem-diem, tanpa sadar kalo ternyata selama ini gue udah mendem rasa suka. Atau..... Jatuh cinta?”
Ada senyum yang terulas sempurna begitu Naka menjauhkan wajahnya dari hadapan Naia. Tangan gadis itu sudah tak lagi Naka genggam.
Naia menggigit bibir sembari menahan gugup, meski begitu ia berharap waktu berhenti barang sedetik aja. Ia ingin melihat senyum Naka untuk waktu yang lebih lama.
“And sorry, Nai. I am sorry for loving you.”
Naia terkejut, “Kenapa minta maaf?”
“Karena gue tau perempuan yang gue cinta, sukanya sama cowok lain?” balas Naka. “Well, as long as you are happy, then I'm happy for you too.”
Naia benar-benar gak tau harus menjawab apa. Ingin rasanya bilang bahwa ia juga punya rasa yang sama, tapi lidahnya kelu seakan-akan dibekukan oleh waktu.
Setelah mengucap beberapa kalimat yang sukses membuat jantung Naia hampir jatuh ke perut, Naka mengusak rambut Naia perlahan lalu pergi dari hadapan Naia seolah ia gak pernah melakukan apa-apa barusan.
Naia meneguk ludah, memberanikan diri berseru dari tempatnya berdiri. “Lo gak mau ngasih kesempatan buat gue ngomong?”
Langkah kaki Naka berhenti, ia menoleh ke belakang sambil menunggu Naia bicara lagi.
“Gue gak suka sama cowok lain, gue udah gak suka Kemal, gue gak suka Kian, gue sukanya sama lo.”
“Apa? Coba ngomong lagi, gak kedengeran,” sahut Naka.
“Gue suka sama lo,” kata Naia, dengan nada suara dipelankan.
Naka iseng menepuk tukang bakso yang berdiri di sekitar sana, “Bang, denger gak itu cewek barusan ngomong apa?”
“Duh, ra krungu o, Mas. Suara Mba'e terlalu pelan,” jawab tukang bakso itu sambil cekikikan. (Duh, gak kedengeran, Mas.)
“Tuh, Nai. Abangnya aja bilang gak denger, apalagi gue,” seru Naka sembari ikut tertawa juga.
Ngeselin banget tuh orang?? batin Naia. Gadis itu lantas melangkah menuju tempat Naka berdiri saat ini kemudian berjinjit dan berteriak tepat di telinga lelaki itu.
“Narendra Rakabumi, gue suka sama lo. Denger gak!!!” seru Naia.
Naka tertawa puas sambil menjauhkan telinganya dari jangkauan Naia. “Iya denger,” katanya setelah tawa itu reda.
“Yaudah, jangan ngeselin jadi cowok!” seru Naia lagi, masih keliatan jengkel jika dilihat dari raut wajahnya. “Terus sekarang gimana?”
“Ya gak gimana-gimana,” balas Naka.
Naia mengernyit bingung, “Kan lo bilang suka sama gue dan gue juga suka sama lo, masa kita mau gini-gini aja? Gak mau pacaran gitu?”
Naka tertawa lagi, kali ini tawanya lebih kencang dari yang tadi sampai tukang bakso yang mangkal geleng-geleng kepala mendengar tawa lelaki itu.
“Eh kok ketawa?”
“Lucu aja, gue niatnya kan cuma mau confess. Bukan ngajak pacaran,” kata Naka.
Kalimat yang keluar dari mulut Naka barusan sukses membuat Naia mati kutu sampai gadis itu harus menahan malu dengan menutupi seluruh wajah. Bawa gue ke pluto sekarang! batin Naia.
Lebih malu lagi saat abang tukang bakso yang masih mangkal juga ikutan tertawa. Sama seperti Naka.
“Ealah, tak kira tadi bakal jadi. Padahal saya udah nyiapin dua mangkok bakso gratis kalo Mas dan Mba beneran resmi pacaran hari ini,” komentar si abang.
Naka mengangkat alis, memikirkan kesempatan emas itu baik-baik di dalam otaknya. Lantas ia rangkul pundak Naia sambil satu tangan kirinya yang bebas menepuk puncak kepala gadis itu.
“Beneran pacaran kok ini, Bang. Berarti baksonya gratis ya?” sahut Naka.
“Loh tadi kata Masnya mau confess tok?”
“Barusan aja saya berubah pikiran.”
Naia mau marah, ia merasa perasaannya baru aja dipermainkan. Ini apa-apaan sih???!
“Oalah... Yowes, tak bikinin nih. Spesial buat yang hari ini resmi pacaran,” ujar tukang bakso itu lagi. “Sini duduk.”
Naka menoleh pada Naia, memberikan senyum terbaiknya hingga kedua mata itu melengkung persis seperti bulan sabit. “Yuk, sayang.”
Anjing, hidup gue beneran ada di puncak komedi, batin Naia dalam hati.
“The Butterfly Effect, pernah denger gak Nai?”
Naka angkat bicara setelah suasana dalam mobil diselimuti keheningan petang yang cukup lama. Gak ada jawaban yang keluar dari mulut Naia. Saat menoleh, Naka mendapati gadis itu sibuk memakan es krim setelah tadi menghabiskan dua mangkok bakso khas malang.
“Sori gue lagi gak fokus, lo nanya apa tadi?”
“Belepotan tuh,” komen Naka.
“Eh jangan ngalihin topik dulu, lo tadi nanya apa cepet ngomong lagi,” kata Naia.
“Pernah denger Butterfly Effect gak?”
Naia diam sebentar, pura-pura berpikir, “Kayaknya pernah gue liat istilahnya di buku cerita tapi waktu itu gue lupa research lagi. Emang apa artinya? Lo tau, Ka?”
Anggukkan dari kepala Naka sukses membuat perhatian Naia teralih sepenuhnya. Gadis itu menatap Naka dengan serius sambil menunggu jawaban yang keluar.
“Sebenernya itu cuma metafora aja, teorinya bilang small changes in initial conditions can lead to a large-scale and unpredictable variation in the future.”
“Aduh mendadak gue gak ngerti Inggris, coba intinya aja deh.”
“Ya gue pengen tau aja perubahan apa yang bakal terjadi di masa depan nanti setelah kejadian hari ini,” kata Naka, “Dan gue harap apa yang gue lakuin tadi, gak akan ngebuat orang yang gue sayang pergi lagi dari hidup gue. Jadi, jangan pergi ya, Nai?”