A Bouquet Of Carnations.
“Mau kemana, Ka?” tanya Naia setelah Naka membawanya ke dalam mobil.
Naka gak menjawab, sibuk memasangkan seatbelt untuk dirinya sendiri dan untuk Naia. Padahal tadi Naia sudah bilang bahwa dia bisa pasang sendiri.
“Gue mau bawa lo ke suatu tempat,” Cuma itu jawaban yang keluar dari mulut Naka.
Naia gak berani bertanya lagi.
Mobil Range Rover itu akhirnya keluar dari pelataran kampus, bergabung menyesaki jalanan dengan kendaraan lain. Naia meneguk ludah sembari melirik jalanan luar lewat jendela, ia perhatikan rintik gerimis mulai membasahi kaca.
“Ka—”
“Gerimisnya cuma sebentar, tenang aja,” kata Naka, seperti bisa menjawab pertanyaan Naia yang belum sempat terucap.
Naia mengangguk paham.
Sampai akhirnya mobil itu berhenti di depan toko bunga. Naia yang tadinya hampir terlelap, jadi melebarkan matanya lagi.
“Sebentar ya, gue beli bunganya gak lama kok. Tunggu sini.”
Pernah merasakan dejavu? Nah, itu yang sedang Naia rasakan saat ini. Memori ketika ia menunggu Kemal di tempat yang sama entah mengapa menimbulkan sesak di ulu hati.
Naia kembali memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur. Sekitar sepuluh menit berlalu, barulah terdengar suara pintu mobil dibuka. Naka masuk ke dalam dengan keadaan rambut setengah basah.
Naia lantas membuka mata, lalu terkejut ketika melihat sebuket bunga anyelir ada di depan muka.
“Buat lo,” kata Naka lantas menaruh jenis buket bunga yang sama juga di kursi penumpang belakang. “A bouquet of carnations, your favorite. Am I right?”
“How did you know I liked this kind of flower?” tanya Naia.
“I just know it,” kata Naka sambil membanting setir ke kiri, kembali membiarkan mobilnya memasuki jalan raya kota Malang. “Keliatan dari cara lo mandang bunga yang gue bawa waktu itu.”
Naia tertegun. This guy really has an unexpected way that makes her falling too deeply.
She didn't know, he was the one who falling for her first.
“Hei, wake up.”
Suara lembut Naka berbisik pelan di telinga Naia, membuat gadis yang tadinya tertidur lelap itu membuka mata perlahan. Naka mengulas senyum tipis sembari merapihkan beberapa helai rambut Naia yang berantakan.
“Sori, rambut lo—”
“Kayak rambut singa ya?” potong Naia lalu beralih merapihkannya sendiri. “Eh ini udah sampe? Gue ketiduran berapa jam?”
“Baru 20 menit, mungkin?”
“Duh sori ya, Ka? Gue kalo lagi di dalem mobil bawaannya pasti ngantuk terus.”
“It's okay,” kata Naka kemudian mengajak Naia keluar dari mobil.
Setelah Naia menginjakkan kakinya di jalanan basah sehabis hujan, ia baru sadar bahwa tempatnya berdiri saat ini berada di sekitar area pemakaman.
Naka memutari mobil dengan sebuket bunga anyelir di tangan, ditatapnya Naia yang bergeming kaku tanpa suara. Raut wajah gadis itu tampak sedikit pucat.
“Naka, can we hold hands?” pinta Naia.
“Hm?”
“Gue agak... takut... tiap ke makam.....” ujar Naia pelan.
Tanpa basa-basi lagi, Naka langsung menyelipkan jemarinya di tiap sisi jemari milik Naia. Lantas ia genggam telapak tangan itu erat-erat. Menyalurkan kehangatan lewat sana sekaligus meyakinkan Naia bahwa selama ada Naka, gadis itu tidak perlu merasa takut.
“I'm here beside you. So, you don't have to be afraid, okay?” ucap Naka.
Naia mengikuti langkah Naka dari belakang, masih dengan jemari mereka berdua yang saling bertaut erat. Makam demi makam mereka lewati hingga Naka berhenti, lantas berjongkok di makam sebelah kiri.
Naia ikut berjongkok di samping makam itu sambil membaca nama yang terukir di atasnya.
Namira Salsabilla.
Who is she? batin Naia penasaran. Ingin rasanya bertanya pada Naka, tapi ia yakin ini bukan waktu yang tepat. Jadi, Naia hanya bisa diam membisu di tempat.
Sembari menaruh sebuket bunga di atas pusara, Naka berbincang dengan sosok yang sudah tertimbun beberapa meter di bawah tanah tersebut. Tak pelak membuat Naia mengeratkan pegangannya pada jemari Naka.
Naia bahkan bisa merasakan tubuh Naka bergetar, lelaki itu sedang menahan tangis mati-matian.
“Naia, ini kembaran gue. Namanya Namira Salsabilla, tapi biasa gue panggil Nasa,” kata Naka, akhirnya memperkenalkan Nasa kepada Naia.
Naia lalu berpaling memandang pusara tersebut, “Hai Nasa, aku Naia...”
Sekuat mungkin Naia menahan air matanya yang hendak keluar, “Naka baik-baik aja kok disini, Nasa gak perlu khawatir ya? Nanti Naka bakal dijagain terus kok sama Naia.”
Sudut bibir Naka terangkat sedikit membentuk segaris senyum tipis.
“Semoga disana, Nasa ditempatin di tempat terbaik di sisi-Nya dan bisa bahagia selalu, ya. Soalnya kalo Nasa bahagia, Naka juga ikut bahagia disini.”
Ada hening yang tercipta lama sampai Naka menunduk dalam untuk menyeka air matanya yang jatuh tiba-tiba. Mungkin terlalu berat bagi Naka untuk merelakan kembarannya yang telah pergi lebih dulu. Naia paham itu.
“She looks like you when she was alive,” ujar Naka pelan. “That's why I bring you to this place. I wanna introduce you to my beloved twins.“
Sehabis berkunjung ke makam, Naka gak langsung mengajak Naia pulang. Lelaki itu bilang bahwa ia butuh waktu untuk rehat sejenak.
Maka disinilah mereka berdua sekarang, di taman bunga sepi dekat pemakaman.
“Cry it out,” kata Naia, akhirnya angkat suara setelah beberapa menit mereka hanya diselimuti keheningan waktu petang.
“Apa?”
“Nangis aja kalo lagi sedih, jangan ditahan. Laki-laki juga berhak nangis kok, kan sama-sama punya perasaan.”
“Gue udah janji sama Nasa buat gak nangis tiap kesini.”
“Tapi tadi lo nangis.”
“Yang tadi gak sengaja,” elak Naka.
Hembusan napas pelan keluar dari mulut Naia seiring ia memandang langit berwarna jingga di atas sana. Persis seperti lukisan.
“My mom once said when I was a child, kalo ada orang yang sedih tuh biasanya dia butuh dipeluk. Dengan begitu, rasa sedihnya bisa berkurang sedikit,” gumam Naia pelan. “Now I wonder about what she said back then is true or not.”
Naka lantas menoleh pada Naia, membiarkan gadis itu melihat sisi lemahnya lewat tatapan mata.
“Then hug me.”
Naia terkejut, “Hng?”
“Prove it to me, Naia,” kata Naka lagi. “Hug me, please.”