Childhood Memories.
Diantara teman-temannya yang lain, Karel termasuk anak yang paling diam dan gak banyak tingkah. Saat kebanyakan anak menghabiskan waktunya bermain di taman bermain khusus yang disediakan pihak sekolah, Karel justru hanya diam merenung di kelas.
Pikiran bocah lelaki itu kacau, sama kacaunya seperti keadaan di rumah dimana Papa dan Mama saling meneriaki satu sama lain.
Karel juga ingin seperti teman-teman sebayanya, ia ingin tertawa bahagia disana. Tapi bocah lelaki itu sadar bahwa ia gak bisa.
Banyak guru TK yang sudah mencoba untuk menegur Karel sekaligus mengajak bocah itu agar berbaur bersama yang lain.
Dan jawaban Karel tetap sama; ia hanya mengangguk mengiyakan ucapan setiap guru tapi gak pernah benar-benar melakukannya.
Makin lama, sifat Karel jadi makin acuh tak acuh. Beberapa guru sepertinya sudah menyerah dan hampir seluruh anak kelas juga mulai lelah membujuk.
Terkecuali satu murid perempuan yang gak pernah absen mengajak Karel bermain.
Namanya Kassa.
Selain fakta bahwa Kassa adalah teman sebangku, bocah perempuan itu juga yang menjadi teman satu-satunya yang Karel punya waktu itu.
“Kael, ayo main disana! Ayunannya lagi sepi.”
“Kamu bisa ngerjain ini gak, Kael? Kok susah ya?”
“Pulang dijemput sama siapa Kael?”
Karel ingat bocah perempuan itu masih belum bisa mengucapkan huruf R dengan jelas. Maka Kassa memanggil nama Karel tanpa huruf R.
Kael.
Sejujurnya Karel gak pernah keberatan nama panggilannya diubah begitu aja. Lagipula hal itu sudah menjadi trademark Kassa.
Karel akan jadi lebih mudah mengingatnya sampai nanti ia beranjak dewasa.
Karel ingat hari dimana ia disuruh menyanyikan lagu di depan kelas saat masih sekolah di taman kanak-kanak.
Sekujur tubuhnya gemetar, tak menyangka hari seperti itu akan datang.
Beberapa murid yang berhasil membangun kepercayaan dirinya sendiri dengan maju dan bernyanyi di depan kelas akan pulang lebih cepat. Karel yakin dia akan jadi murid yang terakhir pulang ke rumah saat itu.
Namun, dugaannya salah.
“Bu guru, kalo maju ke depan sama temen sebangku boleh nggak? Karel gak bisa kalo cuma sendirian,” seru Kassa.
Karel melebarkan mata, merasa bahwa ia gak pernah bilang begitu pada Kassa. Ingin protes, tapi ia justru mengatupkan mulut rapat-rapat karena apa yang dibilang Kassa ternyata ada benarnya; Karel gak akan bisa bernyanyi di depan kelas seorang diri. Ia butuh ditemani.
Sembari menunduk malu karena disaksikan di depan murid dan guru, Karel melirik pada tangan kirinya yang digenggam erat oleh tangan kecil milik Kassa. Bocah perempuan itu seperti ingin menyalurkan keberanian dan rasa percaya dirinya pada Karel.
Dan berkat Kassa, akhirnya rasa percaya diri Karel saat itu mulai tumbuh.
Bersamaan dengan rasa lain yang juga ikut tumbuh di lubuk hatinya.