kiss and gift.
content warning: kissing scene. not safe for work. read at your own risks.
karin menginjakkan kaki di halaman rumah kemal. rumah dengan interior klasik bercat putih tulang itu sangat besar, dikelilingi berbagai macam tanaman di sudut kanan dan kiri yang tak terhitung jumlahnya. garasi yang terletak di sebelah kiri menampakkan deretan motor kemal yang berjejer dengan model berbeda, karin yakin kemal menghabiskan hampir seluruh uangnya untuk memodifikasi motor. ada sekitar tiga mobil juga yang terparkir di garasi, mungkin milik papa kemal. sebab pacarnya itu terhitung jarang sekali pergi ke kampus atau kemana pun mengendarai mobil.
“sopo iki? koncone mas kemal ta?” (siapa ini? temennya mas kemal ya?) perempuan paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluh tahun, menghampiri karin yang tampak kebingungan di depan teras rumah.
karin meringis pelan, “saya pacarnya, bi.”
“oalah, pantes uayu tenan,” perempuan itu tertawa sambil mengangguk, “mas kemalnya ada samping rumah mba. lagi ngasih makan kelinci.”
“oh, kemal melihara kelinci?”
mata karin sontak berbinar, kemudian ia dibawa ke halaman samping rumah oleh mbok ijah—perempuan paruh baya itu ternyata hanya mau dipanggil dengan sebutan mbok. tak hanya kelinci, terdapat macam-macam hewan menyambut pemandangan matanya disini. kemal gak bohong waktu bilang ingin punya kebun binatang kecil-kecilan, ternyata memang beneran ada di rumahnya.
“kemal!” panggil karin sambil berlari ke arah lelaki itu.
“hai, sayang?” kemal tampak kebingungan karena ia gak menyangka karin akan datang ke rumahnya sepagi ini.
“mal, ini lucu-lucu banget kelincinya. kenapa kamu nggak pernah cerita kalo kamu melihara kelinci?!”
“hehehe... nggak keingetan soalnya. kadang juga aku lupa kalo punya hewan peliharaan gara-gara keseringan nongkrong bareng temen,”
karin manggut-manggut mendengar penjelasan kemal sambil mengelus salah satu kelinci yang sedang memakan wortel. lalu kemal pergi untuk mencuci tangan sebelum memeluk tubuh karin dari belakang. dagunya bertengger dengan sempurna di pundak karin.
“kok kamu gak bilang mau kesini?” tanya kemal.
“sengaja lah, kan surprise,” kata karin. jemarinya yang lentik saat ini berada di atas kepala kemal, merapihkan rambut lelaki itu yang masih berantakan efek dari bangun tidur. lantas ia berjinjit dikit untuk mengecup lesung di pipi kemal. “ngomong-ngomong, aku masih nggak nyangka bisa pacaran sama bas yang asli.”
“karin,” panggil kemal, beneran rasanya jantung lelaki itu seperti jatuh ke dengkul.
“iya mas?”
kemal menghela napas setelah dibuat salah tingkah berkali-kali, “kan aku udah bilang jangan panggil mas.”
karin mengangguk tetapi mulutnya tetap mengatakan, “mas kemal mas kemal mas kemal,” sepanjang ia berjalan di samping lelaki itu menuju ke dalam rumah. kemal sampe tutup telinga.
“udah?” tanya kemal waktu karin berhenti bicara.
karin tertawa puas, “udah.”
seorang bocah perempuan menghampiri sofa dimana kemal dan karin duduk berdua. umurnya mungkin sekitar tiga tahun. rambut bocah itu dikuncir, ia berlari kecil sambil membawa selembar kertas gambar ke arah kemal.
“mal, ini anak siapa?” tanya karin.
“anaknya mbok ijah, namanya leia. cantik ya? aku yang kasih nama waktu dia lahir,” kata kemal menjelaskan.
selalu seperti ini, selalu ada bagian dari diri kemal yang membuat karin terpana dibuatnya.
kemal lalu menerima kertas gambar dari leia, isinya adalah figur satu keluarga yang digambar oleh krayon warna-warni. figur dalam gambar itu memperlihatkan keluarga kemal ketika masih utuh— ada papa, mama, kemal dan dimas, kakaknya kemal. leia mungkin mendapat inspirasi gambar itu dari foto keluarga yang terpajang di sudut rumah ini. “makasih, leia. gambar kamu selalu bagus.”
leia tersenyum senang. karin ikut tersenyum lebar saat melihat eksistensi bocah itu.
“mbok ijah sama keluarganya tinggal di belakang rumah ini, aku yang suruh. soalnya rumah ini sepi banget rin, kadang cuma ada aku sendiri jadi aku minta mbok ijah sama keluarganya buat tinggal disini juga,” kata kemal lagi.
“emangnya mama kamu kemana, mal?” tanya karin. tepat seperti dugaannya, raut muka kemal langsung berubah. guratan sendu yang terlukis di wajah lelaki itu muncul seketika menghadirkan sebuah tanda tanya dalam benak karin.
“mamaku... ada.... tapi nggak tinggal disini. mama lagi ngejalanin perawatan khusus di rumah sakit,” kemal menjawab dengan sedikit terbata. sambil menetralkan ekspresi, ia lalu menghela napas. “kapan-kapan aku ajak ketemu mama, ya? mau?”
“mau banget,” sepasang mata karin berbinar lagi. “aku tadinya pengen banget ketemu mama kamu sekarang, tapi ternyata mama kamu gak di rumah.”
“minggu depan aku ajak ke tempat mama deh, tapi jangan berekspetasi lebih ya rin.”
karin tidak tau maksud “berekspetasi lebih” yang dibilang oleh kemal barusan, tapi ia tetap menganggukkan kepala.
leia masih ada disana, di sekitar mereka berdua, sedang menuliskan sesuatu di atas kertas.
“leia agak susah bicaranya, jadi dia selalu nulis apa yang mau dia bilang di kertas,” kemal angkat bicara lagi, seperti ia bisa menjawab pertanyaan dalam benak karin.
kemudian leia memberikan kertas tersebut pada kemal sebelum pergi ke dapur. tulisan selamat ulang tahun, mas kemal tertulis disana. karin lantas melebarkan bola mata, ia lupa kalo hari ini tanggal lima november — hari dimana kemal lahir.
“mal, aku baru inget hari ini kamu ulang tahun tapi aku gak bawa apa-apa,” karin berseru frustasi. “aduh aku cuma bawa bubur doang buat sarapan bareng sama kamu.... kenapa aku gak bawa hadiah kenapa aku bisa lupa....”
kemal terkekeh, “ya gapapa, kamu dateng ke rumah hari ini rasanya udah jadi hadiah buat aku. you already surprised me.“
“tapi leia kasih kamu hadiah yang bener-bener hadiah, mal. masa aku enggak?”
kemal tertawa lagi, lalu ia membawa karin duduk di pangkuannya. satu tangan kemal yang bebas memeluk pinggang karin, sementara yang satu lagi ia gunakan untuk menyampirkan rambut gadis itu ke belakang telinga. “rin, just in case you didn't know about this before— your whole existence in my life is such a best gift for me.“
karin diam tanpa kata. tidak tau harus bicara apa.
“tapi yaa kalo kamu masih maksa mau ngasih hadiah, i think a kiss in my lips sounds really nice for you to try.”
karin lantas menyentil bibir kemal, “nakal.”
kemal tertawa, lesung di pipinya terlukis sempurna sementara kedua matanya menyipit. sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah lagi. kemal memang pandai dalam urusan memainkan ekspresi wajah. “so, wanna try me, babygirl?“
“alright, but you need to close your eyes first.”
kemal menurut. ia memejamkan kedua mata, masih dengan bibir yang melengkung sempurna membentuk sebuah senyum penuh kemenangan. karin diam-diam menarik napas panjang sebelum meletakkan kedua tangan di rahang kemal. dielusnya rahang itu dengan perlahan sebelum ia mendaratkan satu kecupan singkat pada bibir laki-laki itu.
“udah, mal.”
“hah udah?” kemal membuka mata, “nggak kerasa rin, sumpah.”
karin bengong, “kok nggak ngerasa?”
“iya, kurang lama soalnya.”
“yeeee maumu!”
kemudian mereka tertawa, dunia pada hari itu serasa hanya milik mereka berdua saja. setelah tawa mereka reda, kemal menatap karin seintens mungkin, menelusuri sepasang mata indah milikk gadis itu yang selalu ingin ia puji. perlahan, kemal mendekatkan wajahnya dan kini gantian karin yang memejamkan mata.
karin merasakan bibirnya dibungkam oleh bibir milik kemal. karin sama sekali gak melakukan penolakan, karena memang ini yang ia inginkan. semakin lama, ciuman kemal semakin turun.
“can i kiss your neck?” kemal berbisik di dekat telinga karin.
“hm?”
“can i, rin?”
karin mengangguk pelan. baru setelah diperbolehkan, kemal mengecup titik sensitif pada tubuh karin, sekali, dua kali, hingga berkali-kali sampai kecupan itu berubah menjadi gigitan kecil. tangan karin masih bertengger di belakang kepala kemal untuk meremas rambut lelaki itu. kemudian kemal berhenti, melihat hasil karyanya sendiri, bekas kemerahan tampak di sekitar leher pacarnya itu.
“is this too much?“
“no—it's okay, i like it tho,” karin menjawab pertanyaan kemal sambil mengelus pipi lelaki itu, “i am totally yours now. thank you, sayang.”
“gue.... ganggu.... ya?”
baik kemal dan karin sama-sama menoleh kaget ke sumber suara. entah sejak kapan, naka sudah berdiri di depan pintu. tentu saja lelaki itu menyaksikan semua adegan di atas sofa yang dilakukan oleh kemal dan karin beberapa detik lalu.
biasanya naka hanya menyaksikan di televisi, tapi saat kini menyaksikannya di depan mata langsung dengan temannya sendiri yang memerankan adegan tersebut....... rasanya naka mau muntah.
tak tahan dengan keheningan diantara mereka bertiga, naka bersuara lagi. “ini gue ganggu nggak sih?”
“iya,” bukan kemal yang menjawab, tapi karin. kemal geleng-geleng kepala mengingat pacarnya ini terlalu jujur.
“ngapain, ka?” tanya kemal. kehadiran naka di rumahnya pasti bukan tanpa alasan.
“ngasih kue buat lo, bunda yang buat. katanya selamat bertambah umur mal,” naka bicara sambil menaruh sekotak wadah kue di atas meja tamu. “dah gue cuma mau ngasih ini doang abis itu balik. lanjutin aja tuh kegiatan maksiatnya. gue gak mau ganggu lagi. sorry ya.”
selepas kepergian naka, kemal dan karin hanya saling tatap tanpa melakukan apa-apa. lebih tepatnya, mereka sama-sama canggung karena baru aja ke-gep naka.
“mau lanjut lagi nggak, rin?”