Jogja dan Cerita Diantara Kita.
Jakarta dan Jogja.
Adalah dua kota yang sama-sama menjadi tempat paling istimewa dalam hidup Luna. Perbedaan diantara keduanya hanya terlihat dari segi suasana, letak tempat dengan jarak yang berjauhan serta berbagai kenangan yang tersimpan di dalamnya. Jika Jakarta selalu saja memberikan luka, maka Jogja akan menjadi tempat persinggahan bagi Luna untuk menyembuhkan diri sehingga ia bisa melupakan seluruh rasa sakit yang sedang ia derita. Meskipun kenyataan berkata demikian, Luna tetap mencintai Jakarta sama seperti ia mencintai setiap inci kota Jogja— karena di Jakarta lah raganya lahir dengan wujud paling sempurna.
Luna pikir di tahun yang baru dengan kehidupan barunya ini, Jakarta akan berubah sedikit baik padanya, atau minimal, Jakarta tidak lagi memberikannya segores luka. Tapi ternyata, Luna terlalu berbaik sangka. Jakarta lagi-lagi mengukir sebuah luka baru dengan mendatangkan sosok lelaki yang sudah berpaling ke lain hati; lelaki itu tak hanya memutuskan sebuah hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya, tetapi juga memberikan sepucuk undangan pernikahan dan bukan nama Luna yang terukir di atasnya.
Tentu saja pada hari itu, ada begitu banyak sesuatu yang patah— dari cinta, angan, harapan, sampai berbagai impian yang sejak dulu sengaja dirajut oleh Luna bersama laki-laki bernama Sagara, kini hanya tinggal jadi kenangan semata.
“I'm so sorry for saying this, but I fell out love and I couldn't do anything about it. There's nothing I can do to fix our relationship. It was my fault, Lun. I met someone new and I realized I can't be in love with you or try again as everyone has said to me because the sparks was gone.”
It was casually cruel in the name of being honest. Luna tidak percaya hatinya akan sepatah ini saat mendengar runtutan kalimat itu keluar dari mulut Sagara. Padahal gadis itu selalu berusaha ada, ia bahkan tidak pernah melakukan tindakan yang dapat merusak hubungan mereka berdua. Namun, seluruh kepercayaannya selalu dipatahkan dengan cara paling kejam.
“Thanks for breaking my heart, Ga. Makasih juga buat undangan pernikahannya, you should've said to me dari bulan lalu biar gue gak sepatah ini but it doesn't matter lagi sih. I'm happy as long as you are happy too.”
It was so fucking cruel for her.
12 Januari, Stasiun Jogja.
Luna memutuskan untuk melarikan diri lagi ke Jogjakarta. Kota itu memang akan selalu jadi tempat persinggahan terakhir baginya. Ia sudah cukup muak dengan hiruk pikuk Jakarta yang selalu saja memberikan luka dan mendatangkan masalah yang tiada ujungnya, maka hari ini biarlah ia hidup dengan sebebas-bebasnya di daerah istimewa itu.
Luna tidak sendiri, ia ditemani oleh ketiga kawannya yang sudah siap sedia menemani gadis itu dengan embel-embel staycation bersama. Ada Hanan, Gita dan Yarda. Mereka bahkan sudah membagi tugas masing-masing; Hanan kedapatan memesan tiket pulang-pergi, Yarda bagian mengurus tempat penginapan, dan Gita menjadi tour guide dadakan yang akan merekomendasikan berbagai tempat wisata selama mereka singgah di Jogja.
Kamar penginapan tentu saja dibagi secara terpisah, namun mereka tetap harus kemana-mana berempat untuk menghindari kejadian tidak diinginkan.
“Nanti pada kenalan dulu sama temen gue ya, dia yang bakal jadi photographer kita selama liburan disini,” kata Hanan begitu kereta yang mereka tumpangi tiba di Stasiun Jogjakarta.
Luna kontan menoleh pada hanan, “Siapa?”
“Temen gue,” jawab Hanan
“Iya tau, siapa namanya, Nan?” kata Luna lagi, memperjelas pertanyannya yang tadi.
Hanan ber-oh panjang sebelum menjawab, “Namanya Khailil, nanti orangnya dateng kesini ngejemput kita berempat. Jadi kita kagak usah dah mesen taksi online segala, biar irit ongkos,”
“Berguna juga temen lu,” sambar Yarda. Diantara yang lain, Yarda memang pihak yang paling irit bicara. Berbanding terbalik dengan Hanan, lelaki dengan surai kecokelatan itu mampu mengoceh tiap jam tanpa henti.
“Yoi, berterima kasih lu semua sama gue. Terutama yang baru aja patah hati nih,” kata Hanan lagi sambil menyenggol bahu Luna dengan jenaka. Luna hanya diam karena gak punya kekuatan untuk membalas ucapan Hanan. “Hehe gue cuma bercanda ya Lun, jangan dibawa serius.”
“Iya,” kata Luna singkat.
“Eh emangnya temen lo yang namanya Khailil itu gak keberatan kalo kita tebengin?” tanya Gita.
“Nggak lah, dia mah baik hati orangnya jadi santai aja,” balas Hanan.
“Terus kenapa lo bisa sampe ngide nyewa photographer segala? Perasaan kalo kita liburan kemana-mana lo gak pernah sampe segininya,” celetuk Gita lagi.
“Justru karena kita belum pernah nyewa photographer, selagi ada kesempatan ya dimanfaatin dong? Kan lo tau sendiri, Git, diantara kita berempat gak ada yang jago mengabadikan momen. Apalagi lo tuh, disuruh ngefotoin aja gak pernah mau. Yarda juga kalo ngefoto hasilnya jelek semua,” ujar Hanan. “Sebenernya ada Luna sih, but we all knew her current problem, right? Gue gak akan setega itu nyuruh dia jadi tukang poto.”
Luna menimpali, “Kebetulan gue juga lupa bawa kamera.”
“Nah, that's why I asked Khailil. Jadi kemanapun kita pergi, dia bakal selalu ikut buat ngedokumentasiin. Lumayan lah, kita gak perlu lagi ganti-gantian ngefotoin atau minta tolong ke orang lain,” kata Hanan menjelaskan, kemudian ia melambaikan tangan pada sosok lelaki yang berdiri beberapa meter di dekat pintu keluar, “Tuh orangnya.”
Luna otomatis mengarahkan pandangannya pada sosok lelaki yang ditunjuk oleh Hanan. Ia terpaku lama, membayangkan wajah itu tampak sedikit mirip dengan mantan pacarnya yang bernama Sagara. Perbedaannya hanya terletak pada tinggi badan saja.
“Halo, Mba. Saya Khailil,” kata laki-laki bernama Khailil sembari mengulurkan tangan mengajak Luna berkenalan.
“Luna,” gadis itu menyambut jabatan tangan Khailil.
“Salam kenal, Mba Luna,” ujar Khailil, bibirnya melengkung sempurna membentuk sebuah senyum manis bersamaan dengan sepasang mata yang juga ikut tersenyum.
Luna membalas senyum tersebut, “Oh iya salam kenal juga, Khailil.”
Ini mungkin pertama kalinya dalam beberapa minggu belakangan, Luna mengukir senyum manis walaupun masih dalam keadaan patah hati.
14 Januari, Malioboro.
Namanya Khailil Januar Abimanyu.
Biasa dipanggil Khai, meskipun sebenarnya Luna lebih suka memanggil lelaki jangkung dengan wajah mirip kucing itu dengan nama tengahnya; Janu. Namun, lelaki itu pernah bilang di malam pertama kali mereka bertemu di stasiun Jogja, “Panggil Khai aja,” Katanya sih hanya anggota keluarga lelaki itu yang boleh memanggilnya dengan nama “Janu”. Luna mengangguk paham dan gak mau banyak protes, mungkin itu memang sudah jadi aturan di keluarga Khai yang gak boleh dilanggar.
Khai tinggal di Jogjakarta, tepatnya di daerah Kulon Progo. Ia melanjutkan studi di Universitas Gajah Mada dengan jurusan Teknik Mesin. Meskipun hobi fotografi yang ia tekuni saat ini sama sekali gak menunjukkan keterkaitan terhadap jurusan yang tengah ia ambil, yet he still doing it for fun. Seakan fotografi sudah menjadi bagian dari hidupnya yang gak bisa dipisahkan oleh apapun.
“Kalo suka fotografi kenapa gak ambil jurusan itu aja? Setau gue ada tuh di ISI Jogja atau di Surakarta, gak jauh juga kan dari daerah sini?” Luna akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sejak kemarin selalu mengganjal di benak. Ia penasaran dengan alasan Khai memilih mengambil jurusan teknik ketika lelaki itu justru lebih punya potensi di bidang fotografi.
Mereka berdua sedang berada di jalan Malioboro sore ini, sembari menunggu malam tiba sesekali Khai memotret gadis cantik disampingnya. Ketiga teman Luna— Hanan, Gita dan Yarda, tiba-tiba saja pergi entah kemana. Khai tidak bisa mengejar jejak mereka hingga akhirnya ia memilih untuk menemani Luna.
Khai dan Luna mungkin baru saja saling mengenal beberapa hari belakangan, tapi mereka mengobrol dan berinteraksi layaknya dua teman lama yang sudah lama tak berjumpa.
“Sejujurnya saya gak mau ambil jurusan yang sesuai sama hobi saya,” Itu jawaban yang keluar dari mulut Khai. Sukses membuat kernyitan di dahi Luna semakin dalam.
“But why?“
“Mungkin saya terlalu negatif thinking dari awal kali ya, karena takut nantinya akan dapat tugas kuliah yang membebani diri kemudian saya jadi gak punya ketertarikan apa-apa sama fotografi kalo saya ambil jurusan sesuai hobi,” jelas Khai. “I wanna challenging myself too buat survive di jurusan Teknik Mesin.”
Perlu beberapa menit bagi Luna untuk memahami alasan Khai. Tak lama kemudian, ia mengangguk mengerti. Jika ditanya dengan pertanyaan yang sama, mungkin Luna juga akan mengeluarkan jawaban serupa.
“Hobi fotografi ini cuma buat selingan aja, semacam refreshing dari tugas gamtek yang banyaknya gak kira-kira,” kata Khai lagi sebelum mengarahkan kameranya ke samping wajah Luna. Ckrek. Suara jepretan kamera terdengar beberapa detik setelahnya.
“Udah, ah. Gue gak suka difoto kalo angle-nya dari samping,” tolak Luna sambil tertawa pelan.
“Lho piye toh? Wis ayu iki lho Mba, side profilenya aja udah sebagus ini,” puji Khai.
“Ini lagi muji karena side profile gue emang beneran bagus atau karena gak mau ngebuat gue terlihat pathetic?“
“I'll go with the first option, saya kalo muji orang tuh memang karena orang itu pantes dipuji, Mba,” kata Khai menjelaskan. “Is there something wrong with—“
“Iya,” ujar Luna memotong ucapan Khai, “That's why I am here.“
Khai menurunkan kameranya, tanpa sadar ia justru mendekatkan diri ke arah Luna. Khai merasa bahwa perempuan itu sangat butuh didengarkan, atau mungkin saja sedang butuh sandaran?
“Cerita aja, Mba. Saya bisa jaga rahasia kok,” ucap Khai.
“Nggak ada yang perlu dirahasiain sih sebenernya,” Luna tertawa sumbang saat membalas ucapan Khai, “Ya gitu, gue diputusin sama pacar gue dengan alasan dia udah nggak ada rasa lagi. Padahal sebenernya gue tau kalo dia selingkuh soalnya—”
Khai masih diam mendengarkan, menunggu kelanjutan dari ucapan Luna.
“Soalnya dia.... Waktu itu ngasih undangan....” Luna nggak mampu lagi melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba saja dadanya dipenuhi oleh rasa sakit dan sesak. Khai mengerti, ia tidak bertanya lebih lanjut. Lelaki itu justru meminjamkan pundak dan tanpa sadar Luna sudah menitikkan air matanya disana.
“Konon katanya, seseorang harus mengalami patah hati terberat sebelum menemukan orang yang tepat.”
Khai bicara sambil mengusap pelan punggung Luna, berharap melalui cara itu ia bisa menyalurkan sedikit kekuatan pada gadis yang tengah bersedih di pundaknya.
“Gapapa ya, Mba? Mungkin ini cara Tuhan ngasih tau ke Mba kalo mantan Mba yang itu bukan orang yang tepat. Mungkin abis ini Mba baru dipertemukan sama orang yang tepat sama Tuhan,”
Luna diam-diam mengaminkan ucapan Khai.
“Saya tau Mba kuat orangnya. Tapi kalo suatu saat nanti Mba mau nangis buat meluapkan emosi, pundak saya selalu ada buat Mba. Jangan nangis sendirian lagi ya? Kesedihan tuh nggak boleh dipendem, harus diluapkan dan dibagi-bagi kalo kata Ibu saya.”
Luna terkekeh kecil walaupun masih sesenggukkan. “Thank you, by the way. Lain kali jangan panggil gue pake 'Mba'. Luna aja, biar akrab,”
“Waduh, kayaknya nggak bisa Mba, soalnya kan Mba Luna lebih tua setahun dari saya. Disini nggak etis rasanya kalo langsung manggil nama sama orang yang lebih tua,” elak Khai.
“Yaelah, santai aja kali? Nggak usah formal-formal banget lah?”
“Hehee iya tapi nggak bisa, Mba. Saya mau matuhin aturan aja, kalo ketauan Ibu nanti saya digeplak karena udah dianggep gak sopan.”
“Padahal gue nggak keberatan sama sekali loh? Lagian nyokap lo juga gak akan tau kan?”
Khai hanya tersenyum tanpa membalas ucapan tersebut lebih lanjut. Ia mengarahkan kamera dengan arah terbalik hingga lensanya tepat menghadap Luna dan dirinya. “Mba Luna mau mengabadikan momen lagi nggak? Itung-itung buat apresiasi diri karena Mba Luna udah kuat bertahan sampe saat ini?”
“Bahasa lo dangdut banget deh, Kha?”
Khai tertawa, “So, are you in?“
Luna mengusap jejak tangisan di kedua pipinya sebelum mengangguk mantap, “Yes,“
Khai lantas mengatur timer kemudian merangkul pundak Luna sebelum menampilkan senyum terbaiknya ke kamera. “1, 2, 3.....”
Ckrek.
Foto mereka berdua abadi di dalam memori kamera Khai.
15 Januari, Pantai Gunung Kidul.
Luna tau, cepat atau lambat dia akan jatuh hati pada lelaki bernama Khai ini. Ia sudah menghabiskan hampir separuh liburannya bersama Khai dibanding dengan ketiga temannya. Entah kenapa, sesuatu dari diri Khai selalu menarik dan membuat magnet tersendiri sehingga Luna betah berlama-lama ada di samping lelaki itu. Mereka selalu bertukar cerita, kadang menyempatkan jalan bersama di sepanjang jalan Malioboro, bahkan beberapa kali makan berdua di beberapa warung kaki lima. Mustahil jika Luna tidak memendam rasa apa-apa.
Ditambah dengan keadaan hatinya yang sedang kosong dan tidak disinggahi siapa-siapa, sangat mudah bagi Khai untuk masuk dan singgah disana.
“Belum mandi ya?” tanya Luna pada Khai, terlihat jelas dari wajah lelaki itu seperti baru saja bangun dari tidur. Luna jadi merasa nggak enak karena ia yang mengajak Khai ke pantai sepagi ini sampai lelaki itu mungkin nggak punya waktu untuk mandi lebih dulu.
“Iya, saya kalo ke pantai pagi-pagi emang nggak pernah mandi. Tapi saya udah sikat gigi kok tenang aja,” ujar Khai, agak panik sedikit. Ekspresi yang dibuat oleh Khai selalu saja sukses membuat Luna tertawa.
“I have something for you,” Luna mengambil sesuatu dari dalam tas kemudian memberinya pada Khai, “Selamat ulang tahun, Khai. Makasih udah lahir ke bumi.”
Khai diam selama beberapa menit, mengerjapkan mata lalu menatap Luna dengan bibir terbuka, “Mba Luna tau darimana?”
“Hanan yang ngasih tau kalo hari ini lo ulang tahun,” ujar Luna. “Itu kamera analog sama roll filmnya, kebetulan gue liat itu waktu lagi ke Pasar Senthir. Terus gue keingetan lo jadi gue beli deh. Anggep aja ini kado sekaligus ucapan terima kasih karena lo udah nemenin gue selama liburan disini. Gue jadi nggak ngerasa sedih lagi sekarang.”
“Mba... Aduh... Saya.....” Khai mendadak gagap, bingung mau bicara apa. “Makasih banyak, Mba Luna. Sebenernya Mba nggak perlu repot—”
“Gue nggak merasa direpotin, Kha,” kata Luna.
Khai tanpa sadar menggaruk tengkuk, merasa salah tingkah. Ia membolak-balikkan kamera analog di tangannya dengan senyum manis kemudian memasukkan roll film ke dalamnya. Satu tangan mengangkat kamera sementara tangan yang lain menyangga tubuh karena ia sedang duduk di antara ribuan pasir pantai.
“Kakek saya pernah bilang, objek pertama yang harus dipotret sama kamera analog harus jadi objek yang paling indah,” ujar Khai sebelum mengarahkan kamera pada wajah cantik Luna.
“Terus kenapa kameranya harus ngarah ke muka gue?”
“Soalnya cuma itu objek paling indah di mata saya sekarang,” ujar Khai lagi.
“Aduh Kha, dangdut banget lo tuh,” Luna sampai tertawa terpingkal-pingka. Di saat seperti itulah Khai memulai aksi, ia mengambil kesempatan untuk mengabadikan momen berharga yang ada di depan matanya ini.
“Saya juga punya sesuatu buat Mba Luna,” kata Khai lalu memberikan sebuah album kecil. Di dalamnya ada beberapa foto Luna yang sudah dicetak dan dihias sedemikian rupa hingga tampilannya jadi lebih menarik. “Beberapa hari lagi kan Mba pulang ke Jakarta, jadi saya mau kasih kenang-kenangan. Biar Mba Luna inget sama Jogja terus dan nyempetin kesini kalo nanti mau liburan lagi.”
Sepasang mata Luna berbinar melihat pemberian dari Khai, kedua pipi gadis ini bahkan memerah karena tersipu. “Khai ini bagus banget? Thank you yaaa!”
Di saat Luna asik melihat berbagai foto dirinya dalam album tersebut, Khai berkali-kali menggaruk tengkuk sambil mengedarkan pandangan ke arah lain.
“Do you wanna be mine?” Luna membaca rentetan kata yang tertulis dalam halaman terakhir pada album tersebut, mungkin saja itu ditulis oleh Khai sendiri. “Are you being serious?”
“Nggak usah dijawab gapapa, Mba. Itu saya bikinnya waktu malem-malem kayaknya sambil ngelindur,” elak Khai.
Khai pikir Luna akan marah mengetahui fakta bahwa sejak awal mereka berjumpa, Khai sudah memendam rasa. Namun ternyata, Luna justru memberikan respon yang tidak terduga.
“I'm already yours loh, Khai.”
“Gimana, Mba?”
“I'm already yours.”