The Answer.
“Dhanti! Ngapain lo masih disini?” sentak Naia setelah ia tiba di sekitar kantin FK yang ramai dikerubungi mahasiswa dari berbagai jurusan.
“Ini lagi seru, Nai. Liat deh! Sini cepet!” seru Dhanti.
Naia melihat ke arah yang ditunjuk Dhanti. Tepat di tengah kerumunan sana, Naka sedang sibuk menghajar lelaki lain tanpa ampun. Bahkan Kemal sampai ikut turun tangan.
Gak ada satupun mahasiswa yang mau melerai, mereka semua malah asik menyoraki jagoan masing-masing.
Dan entah bagaimana caranya, Naia dan Naka bisa saling menatap dalam diam. Seakan waktu jadi berhenti berjalan ketika kedua mata mereka saling bertemu dalam satu pandang.
Tak ada luka yang cukup serius di wajah Naka, sebab lelaki itulah yang lebih mendominasi perkelahian. Naia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sementara lawan Naka saat itu tampak bonyok sana-sini.
Naia terkejut kemudian langsung berbalik. “Gue duluan.”
“Eh mau kemana? Ini belom selese acara berantemnya!” seru Dhanti.
“Gue kelas,” kata Naia, berbohong.
“Bang, lu selain jago berantem ternyata jago nyusahin gue juga ya?” kata Ervan, dengan berani menyindir Naka.
Sekala langsung menoyor kepala Ervan.
“Jaga omongan lo, nyet! Mau lo dihajar kayak tadi?” bisik Sekala.
Ervan lantas mengatupkan mulut, takut.
Naka memutar bola mata jengah. Sama sekali gak minat buat membalas perkataan Ervan. Ia susah payah berjalan dibantu oleh dua adik tingkatnya itu menuju unit kesehatan kampus.
“Gue bisa jalan sendiri, udah lo urusin yang lain aja,” kata Naka.
“Tapi Bang—”
“Udah sana.”
Sekala menoleh ke Ervan, “Cabut.”
Sepeninggal Ervan dan Sekala, Naka ditinggal seorang diri di tengah koridor yang gak begitu ramai. Beberapa pasang mata menatap penasaran, namun Naka tampaknya gak terganggu sama sekali.
Dia cuma pengen istirahat saat ini. Sekujur tubuhnya terasa nyeri karena beberapa kali mendapat tinjuan serta pukulan.
“Eh?”
Naka berhenti melangkah saat sosok gadis menghalanginya masuk ke dalam ruangan. Itu Naia, gadis yang kemarin Naka pinjami hoodie favoritnya.
Pandangan mata Naka jatuh pada sebotol alkohol dan sebungkus kapas yang Naia bawa di genggaman tangan.
Buat apa dia bawa begituan? kata batin Naka.
Sebelum Naia sempat pergi dari hadapan Naka, lelaki itu lebih dulu meraih lengannya. Membuat Naia mau gak mau berhenti melangkah dengan jantung berdegup kencang.
“Sekarang udah percaya kalo gue bisa berantem?” tanya Naka pada Naia, pelan tapi menusuk.
Naia berdecak pelan saat kenyataan membawanya terjebak di dalam satu ruangan yang sama dengan Naka. Meski ia sedikit iba melihat kondisi Naka sekarang, tetep aja ketakutannya terhadap lelaki itu lebih besar.
“Bisa obatin sendiri kan abis ini?” tanya Naia setelah gadis itu selesai mengobati luka di bibir Naka yang tampak sobek sedikit dan beberapa memar di punggung.
Naka mengangguk, “Makasih.”
“Sama-sama, lain kali gak usah berantem kayak tadi. Gak guna,” kata Naia sebelum pergi.
Naka menghela napas panjang lantas memilih berbaring di atas ranjang. Ia menatap kosong punggung tangannya sendiri yang tampak kemerahan, efek karena terlalu kencang menonjok cowok tadi.
Saat merasakan ada sesuatu bergetar di bawah punggung, Naka bangun lagi. Hanya untuk menemukan ponsel putih tergeletak di atas ranjang yang baru aja ia tiduri.
“Naia's phone?”
Dua notifikasi sekaligus muncul, tampaknya dari nomor Kian. Jemari Naka tak sengaja memencet notif, semua percakapan antara Kian dan Naia bisa ia baca dari sana.
“Hape gue! Dimana ya?”
Naka mendongak saat melihat sosok Naia masuk lagi ke dalam ruangan.
“Itu hape gue kan?” tanya Naia, menunjuk ponsel yang ada di tangan Naka.
“Iya, tadi ketinggalan disini,” jawab Naka.
Naia buru-buru merebut ponselnya dari tangan Naka, sekaligus mengecek isinya. Naka lalu bangkit dari ranjang, berjalan santai ke depan Naia yang masih panik.
“Gue gak punya pacar, belum punya tunangan juga,” kata Naka sambil menunduk memandang Naia, “Jadi, pertanyaannya udah kejawab jelas kan?”
Naia masih diam mematung saat Naka berjalan menjauh. How did he knows?
“Ah, soal bunga—” Naka menggantung kalimatnya sambil berbalik. Kali ini mereka saling berhadapan satu sama lain, “—kalo mau tau bunga kemarin buat siapa, lo harus masuk dulu ke dalam hidup gue. Then, you'll know the answer later.”