The Black Hoodie.
“Naia, lo harus bisa keluar dari sini tanpa ketauan Naka. Harus!” kata gadis berkuncir kuda dibalik pintu sebuah kosan minimalis.
Naiara Ashiella, namanya. Biasa dipanggil Naia. Tapi katanya sih gadis itu lebih suka dipanggil sayang.
Sembari mengintip lewat jendela, ia memicingkan mata. Pandangan kedua netra terpaku pada sosok berhoodie hitam yang menunggu di depan pagar utama. Perawakannya lumayan serem, sebelas dua belas sama malaikat maut. Karena pada pagi itu, Naka memakai pakaian warna hitam dari atas sampai bawah.
Naia menghela napas, lalu mengendap keluar lewat pintu gerbang belakang saat dilihatnya Naka mulai lengah.
Untungnya, misi Naia berhasil. Dia gak ketauan.
“Hadeh gue kudu jalan sampe depan dong biar bisa naik angkot? Bangsat nih Kian ngerjain gue mulu,” keluh Naia.
Dalam perjalanan menuju pertigaan depan, Naia merogoh ponsel di dalam tas. Berniat membuka blokir untuk memaki-maki Kian lewat kolom pesan. Begitu mobil Range Rover lewat di dekatnya, gadis itu berjengit kaget.
Apalagi saat air kubangan di jalanan terciprat ke arahnya hingga kemeja gadis itu kotor di beberapa bagian.
“Anjrit? Kon kayak asu!” seru Naia. (Kamu kayak anjing!) Tentu saja gadis itu neriakin pengemudi mobil yang barusan lewat.
Mobil itu pun berhenti. Naia ikut menghentikan langkah. Saat dilihatnya pengemudi mobil tersebut mulai keluar, Naia mulai panik.
”... Naka??”
Mampus Naia, rest in peace dah.
Naka keluar dari mobil Range Rover miliknya dengan tatapan cemas. Naia meneguk ludah, langsung menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan.
Emang ada baiknya gue mati muda aja kali ya, batin Naia.
“Hei? Sori gue gak liat ada kubangan disitu tadi. Baju lo...” Naka hendak meraih tangan Naia, tapi ia justru terpaku di tempat.
Loh? Ini kan temennya Kian? batin Naka.
“Gapapa, baju gue gapapa,” kata Naia denial. Padahal udah jelas banget kemejanya kotor. “Gak usah merasa bersalah, soalnya ini salah gue. Oke? Udah ya gue mau ke kampus!”
Semesta seakan gak mau membiarkan Naia merasa aman barang sedetik aja karena beberapa saat setelah ia berbalik memunggungi Naka, Naia malah tersandung oleh tali sepatunya sendiri.
Tepat di depan Naka.
Nai? Goblok banget!
“Hei— kalo jalan liat-liat dong!” seru Naka, suaranya terdengar panik. Ia lantas mengulurkan tangan, berniat membantu Naia berdiri.
“Thanks, gue bisa sendiri,” tolak Naia.
Naka berdecak samar kemudian membuka hoodie-nya saat itu juga dihadapan Naia.
“Eh?? Mau ngapain lo???” seru Naia sambil buang muka.
Naka mengulurkan hoodie-nya ke depan Naia, “Pake.”
Naia melongo, apalagi waktu melihat Naka hanya mengenakan kaos hitam polos setelah berhasil melepas hoodie.
Sekarang Naia baru percaya kata orang-orang yang bilang bahwa cowok yang cuma pake kaos hitam polos tuh tingkat kegantengannya jadi berkali-kali lipat.
“Mau gue yang pakein atau lo pake sendiri?” tanya Naka tegas.
Naia lantas mengambil hoodie itu dengan ragu. “Tapi ini buat apa?”
“Emangnya lo yakin mau ke kampus pake kemeja kotor? Mikir kek,” sahut Naka.
Naia mendengus, “Kan gak boleh pake hoodie ke kampus?”
“Bilang aja lagi gak enak badan, dosen-dosen pasti bakal maklumin. Lagian kalo lo mau balik ke kosan, waktunya gak cukup. Sepuluh menit lagi kelas lo mulai kan?” tanya Naka.
“I... iya.”
“Yaudah, cepet masuk mobil. Kian udah nitipin lo ke gue, berarti gue yang tanggung jawab bawa lo sampe ke kampus hari ini.”
Gak ada yang memulai percakapan sama sekali dalam mobil itu. Naka fokus menyetir sementara Naia bergerak gelisah di jok penumpang. Tadinya Naia udah berniat mau minta maaf ke Naka, tapi urung begitu melihat Naka tampaknya lagi gak mau diajak bicara.
Ketika mobil Range Rover itu memasuki pelataran Fakultas Teknik lalu berhenti di area parkir, Naia buru-buru membuka pintu mobil.
“You owe me an apology, by the way,” celetuk Naka, sontak membuat pergerakan Naia berhenti seketika.
“Sorry, gue bener-bener gak ada maksud mau nantangin lo lewat tweet gue yang kemarin,” kata Naia pada akhirnya. “Maaf kalo kesinggung.”
Naka memandang Naia sambil manggut-manggut, “Bagus deh, gue juga gak mau berantem sama cewek. Soalnya lo bukan tandingan gue.”
Tahan, Naia. Gak boleh ngomong kasar di depan malaikat maut. Entar nyawa lo kecabut.
Setelah permintaan maaf itu diterima, Naia langsung keluar dari mobil. Melangkah tergesa menuju kelas sampai menghiraukan beberapa pasang mata yang menatapnya aneh. Mungkin karena Naia mengenakan hoodie hitam yang cukup mencolok.
Bodo amat deh, gak peduli! batin Naia.
Little did she knows, Naka justru mengikuti langkah Naia sampai ke depan pintu kelas. Itulah alasan kenapa beberapa pasang mata mahasiswa tertuju pada mereka berdua pagi itu.