The Breaking Point.


Warning: 1,6k words. Enjoy the ride! 🐙🐙


Februari, 2022.

Kenapa sih bisa putus tiba-tiba?

Sebenernya ini semua berawal dari mereka yang sama-sama salah paham dan mungkin terlalu bosen dengan hubungan yang makin lama makin flat. Naka dan Naia terhitung jarang berantem, mereka udah komitmen untuk gak memperpanjang suatu masalah yang menimpa hubungan mereka. Setiap permasalahan yang ada pasti langsung dicari jalan keluarnya secepet mungkin, jadi intensitas mereka untuk berantem pun sangat jarang sekali.

Walaupun kadang dilanda rasa jenuh sama hubungan yang lagi mereka jalani, Naka selalu punya cara untuk mengatasi kejenuhan itu. Tapi entah kenapa, seiring berjalannya waktu, Naia justru merasa kehilangan dirinya sendiri setiap bareng Naka. Ada sesuatu dalam diri Naia yang membuat gadis itu ingin lepas dari genggaman lelaki itu.

Naia tau dia gak seharusnya seperti ini, tapi bertahan sama satu orang yang paling egois dalam hidupnya semakin membuat Naia jadi capek sendiri karena harus terus-terusan mengikuti ego-nya Naka.

“Nai, kamu lagi capek sama kita? Kalo iya, ayo break dulu,”

Naia tadinya gak mau break karena ia tau break adalah awal dari berakhirnya sebuah hubungan. Tapi ia juga gak punya saran lain dan akhirnya menyetujui. Setelah mereka memutuskan untuk mengurangi intensitas berhubungan, Naia jadi makin gak karuan. Ia gak bisa mengontrol perasaannya sendiri dan sadar mulai fell out love. Namun setiap hari, ia selalu berusaha menemukan cara untuk jatuh cinta lagi dengan Naka. Glad she found it again.

Puncak permasalahannya dimulai ketika Naka gak sengaja ketemu sama Nadhira di rumah sakit. Nadhira ini adalah orang yang pernah menyelamatkan Naka waktu laki-laki itu ingin melakukan percobaan bunuh diri di sekolah lamanya bertahun-tahun yang lalu. Kalau gak ada Nadhira, mungkin sekarang Naka cuma tinggal nama.

Itulah kenapa Naka berhutang budi banget sama Nadhira ini. 

Karena waktu itu belum sempet mengucapkan terima kasih, Naka mengajak Nadhira untuk ketemuan di salah satu kafe. Tentu saja, Naka gak datang kesana dengan tangan kosong. Dia bahkan menyempatkan diri untuk beli sebuket bunga dan bingkisan kecil untuk Nadhira. Naka masih gak sadar kalo tindakannya yang satu itu bisa memunculkan salah paham. Terlebih, dia gak mengabari Naia dulu kalau mau ketemu sama Nadhira.

Naka bener-bener gak ada niat selingkuh, dia beli semua itu hanya sebagai ucapan terima kasihnya ke Nadhira. Tapi ternyata, orang-orang justru menangkap maksud lain.

Foto dimana Naka dan Nadhira ketemuan di kafe diabadikan oleh Megan, kebetulan cewek itu ada di kafe yang sama dan di jam yang sama pula saat Naka dan Nadhira bertemu. Megan udah mengira yang enggak-enggak dan keadaannya makin parah ketika cewek itu justru cerita ke Naia instead of keeping it herself.

Ketika foto itu diperlihatkan oleh Megan, Naia merasakan kecewa yang teramat sangat. Yang ada di otaknya saat itu hanya dia yang ingin memutuskan hubungannya dengan Naka. Oh jadi ini alesan waktu itu Naka minta break up? Biar dia bisa bebas main sama cewek lain? Begitu yang ada di pikiran Naia. Semua penjelasan yang keluar dari mulut lelaki itu juga akan terbilang percuma karena dari awal Naia sudah mengira bahwa Naka selingkuh.

Naka sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya, tetapi Naia seakan tutup telinga bertindak seperti ia tidak mau mendengarkan.

Di saat yang bersamaan, Naka juga sama kecewanya saat menerima pesan dari Naia yang meminta untuk membatalkan rencana pertunangan mereka begitu saja. Padahal di hari itu, Naka sudah membeli cincin untuk nanti ia berikan pada Naia di hari pertunangan mereka kelak.

Pada akhirnya, mereka sama-sama menemui titik putus masing-masing. The breaking point effect was there—which leads them to feel a huge emotional breakdown caused by losing each other.


Maret, 2022.

Semenjak kesalahpahaman itu muncul, Naia selalu kemana-mana sendiri tanpa ditemani Naka. Hal ini menjadi satu dari sekian banyak konsekuensi yang harus ia hadapi setelah mengambil keputusan tersebut. Rasanya berat untuk beradaptasi lagi dengan keadaan yang baru— keadaan dimana semuanya gak sama lagi seperti dulu.

But, life must go on. Ia gak bisa terus-terusan bergantung dengan Naka, kan?

I heard the latest news about you and Naka,” Karin memulai pembicaraan saat kebetulan bertemu dengan Naia di apotek. “I'm sorry...”

Mereka sudah berbaikan dan saling meminta maaf beberapa waktu yang lalu, masalah diantara mereka berdua juga sudah tuntas. Karin sadar telah melakukan kesalahan karena hampir melabrak Naia di depan umum, Naia juga sadar kalau ia gak seharusnya masih mengharapkan Kemal ketika sudah jelas Kemal masih jadi milik Karin waktu itu.

Naia bahkan gak menyangka kalau sekarang ia bisa berteman dengan Karin, mengingat dulu ia paling anti dengan gadis itu. Ternyata Karin gak seburuk yang dibilang oleh kebanyakan orang.

Why would you say sorry? This isn't your fault,” kata Naia sambil memaksakan senyum.

How do you feel now?

All good,” jawab Naia, sudah pasti berbohong.

To be honest, gue sangat menyayangkan keputusan kalian batalin pertunangan—”

It was actually my decision, not him,” potong Naia, memperjelas ucapan Karin yang masih terdengar ambigu di telinganya. Dilihat dari raut wajah Karin, ia tampak kaget sekali.

Do you regret it?

Ditanya begitu, Naia semakin menunduk dalam. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya yang bergetar. Ofcourse she regrets it. That was the worst decision she ever made in her life. Not only losing him, she's also losing herself too. Then she realized, everything's aren't going to be the same anymore as it was. Because she had chosen this way.

Namun, jawaban yang keluar dari mulut Naia justru berbanding terbalik dengan apa yang kini ia rasakan. “I shouldn't regretting my own decision, right?


Sore ini Naka memutuskan untuk mengunjungi apartemen Kemal untuk bicara empat mata dengan sahabatnya itu. Kemal sudah boleh pulang dari tempat rehabilitasi, kondisi laki-laki juga sudah membaik dari beberapa bulan yang lalu.

“Kemal mana?” Naka bertanya pada Karin saat ia tidak menemukan eksistensi Kemal yang biasanya ada disamping gadis itu.

“Ada tuh di basemen, lagi markirin mobil,” jawab Karin sambil memasukkan pin dan membuka pintu lebar-lebar, mengisyaratkan Naka untuk masuk.

“Darimana?”

“Psikiater, tiap minggu dia kan masih harus ngejalanin psikoterapi,” kata Karin.

Naka mengangguk paham. Ia sebenernya gak begitu akur dengan Karin mengingat dari dulu ia memang gak pernah suka dengan gadis itu sehingga mereka sering kali terlibat perdebatan. Tapi ia sadar bahwa tanpa Karin, sahabatnya itu gak akan bisa berubah jadi lebih baik, “Please don't ever leave him. Even he said he wants you to leave. Everybody know Kemal needs you.

I know and I won't leave him,” balas Karin sambil mengangguk juga. “I've just met Naia this morning. Do you think this is a coincidence between you and her?

Naka lantas mendengus samar ketika nama mantannya disebut, lelaki itu masih berpura-pura tidak peduli karena ia menjunjung tinggi rasa gengsinya sendiri, “I don't think so. Lagian nggak peduli juga.”

She's doing fine, kok,” Karin masih melanjutkan omongannya.

I said I don't care.”

But she looks a little bit sick, matanya berair dan bibirnya pucet. Terakhir kali gue liat dia lagi beli obat di apote—”

“Naia sakit apa?”

Naka langsung memotong ucapan Karin tanpa tedeng aling. Lelaki itu sampai memajukan badannya sedikit, menunggu Karin bicara lagi. Air mukanya terlihat khawatir.

You just said you don't care about her? Terus sekarang kenapa nanyain?” kata Karin, sengaja membalikkan omongan Naka yang tadi. “Gengsi terus yang digedein, tapi gak ada aksinya. Dasar cowok!”

Kemal tertawa di belakang sambil merangkul pundak Naka, “She was right, Ka. Jangan kebanyakan gengsi. Kalo masih peduli tuh samperin orangnya. Tanyain langsung, biar lo juga bisa liat keadaannya gimana.”

Naka hanya mengatupkan mulut karena tau ia sedang dipojokkan.

“Lagian kenapa harus begini sih, Ka? Harus banget sampe ngebatalin rencana tunangan lo sama Naia?” tanya Kemal.

“Mal, lo harusnya tanya ke Naia. Dia kan yang mau batalin tunangan, gue cuma ngikutin apa maunya dia.”

“Terus udah? Mau lo biarin kayak gini aja?”

Naka menghela napas, “Dia yang mau semua ini berakhir, Mal. Apa lo pikir gue gak kecewa sama keputusannya? Setelah apa yang gue lakuin dan perjuangin buat dia selama ini, segampang itu dia minta batalin pertunangan? Gue manusia biasa, Mal, gue juga bisa capek.”

“Oke, gue ngerti,” Kemal mengangguk, “Tapi lo juga punya opsi buat nolak apa yang dia minta kan, Ka? Kalian berdua bisa bicarain masalah ini baik-baik. Kalo masih saling mertahanin ego masing-masing, gak akan ketemu tuh jalan keluarnya. Sekarang gue tanya lagi, emangnya lo gak mau berusaha buat memperbaiki hubungan lo sama Naia?”

“Nggak tau, gue udah kecewa sampe gak bisa mikir apa-apa,” kata Naka sembari menjatuhkan dirinya di atas sofa kosong.

Kemal jadi ikut pusing mikirinnya. Padahal ini bukan hubungan dia, tapi dia yang ribet mikir.

“Menurut lo, apa yang ngebuat Naia bisa minta batalin pertunangan kalian?”

“Dia ngira gue selingkuh.”

Kemal sampe kaget dengernya, karena ia tau Naka bukan tipe orang yang akan menduakan pasangan. “Tapi lo gak beneran selingkuh kan?”

“Mal, lo tau sendiri gimana sayangnya gue sama Naia. Gue gak akan mungkin ngelakuin itu di saat gue udah punya dia,” kata Naka menjelaskan. “Logikanya, kalo dia percaya sama gue, harusnya dia gak mikir sampe kesana. See? Dia bahkan udah gak menaruh kepercayaannya lagi buat gue.”

“Lo udah berusaha ngejelasin ke dia belum kalo lo sama sekali gak nyelingkuhin dia?”

“Udah, tapi gak tau dia denger dan mau ngerti sama yang gue omongin atau enggak. Lo tau sendiri, Mal, sifat cewek kayak gimana,”

Do you still love her?”

Naka tidak langsung menjawab.

Do you still love her? Kalo iya, lo gak akan mungkin cuma tinggal diem aja kayak gini kan?” ujar Kemal lagi, sukses membuat Naka berdecak frustasi. “Dengerin omongan gue; perjuangin apa yang harusnya lo perjuangin. Turunin rasa gengsi lo, kesampingin ego lo sendiri. Gue tau lo kecewa sama keputusan Naia, tapi bukannya lo bakal lebih kecewa lagi kalo lo harus kehilangan dia tanpa merjuangin hubungan kalian berdua?”

Omongan yang keluar dari mulut Kemal barusan sukses membuat sedikit pemikiran Naka berubah. Tetapi lelaki itu masih diam, sembari menatap layar ponselnya yang menampilkan wallpaper foto Naia dengan dirinya. Wallpaper itu belum diganti sejak terakhir kali Naka berhubungan dengan Naia.

“Jangan cuma logika doang yang dipake, tapi perasaan lo juga, Ka.”

Detik itu juga, Naka langsung beranjak bangun dari tempat duduk. Bersiap-siap ingin pergi. Padahal, Kemal baru saja akan membuatkan minum.

“Mau kemana?” tanya Kemal.

“Ke rumah Naia, lo bilang gue harus merjuangin apa yang harusnya gue perjuangin kan?”