The Pain and The Cure.
Naia: ka jangan berantem ya Naia: apapun alesannya jgn berantem
Pesan itu masuk ke ponsel Naka setelah ia membanting setirnya ke kiri melewati sebuah jalanan sepi. Ia sengaja melambatkan laju mobil sambil satu tangannya membalas pesan dari Naia hingga kini fokusnya terbagi menjadi dua. Jika Bunda tau anaknya berkendara seperti ini, mungkin Naka akan berakhir dimarahi.
Sesuatu yang keras menghantam kaca mobil Naka begitu lelaki itu menaruh ponselnya di samping jok kemudi. Terpaksa ia menghentikan mobilnya di tengah jalan dan harus menghadapi kenyataan pahit bahwa dirinya sedang dikepung oleh orang yang belakangan ini sering membuat onar.
Ada gerombolan Reksa di depan sana, sekitar tujuh orang, berjajar menghalangi mobil Naka dengan motor mereka masing-masing. Reksa berdiri di barisan paling depan dengan dagu terangkat seperti siap menantang Naka.
“Ah, shit,” umpat Naka sambil menunduk.
Ia tau hari ini akan datang, hari dimana Reksa akan membalaskan dendam. Namun, Naka gak menyangka Reksa akan membawa bekingan sebanyak ini. Dan kenyataan bahwa Naka hanya membawa dirinya sendiri semakin membuat lelaki itu gak bisa banyak berkutik.
Jika ia memaksakan diri keluar melawan gerombolan itu satu per satu, tindakannya akan terbilang percuma karena ia sudah pasti kalah hanya dalam hitungan detik.
“Narendra, time to get out of your car,” teriak Reksa.
Semakin dekat langkah Reksa mendekati mobil Naka, maka semakin sulit otak Naka untuk berpikir jernih. Memori masa lalu kelam itu kembali hadir merasuki benaknya tanpa permisi; kelamnya hari-hari dimana ia melihat Nasa diperlakukan seperti sampah sesama sekolah, dicaci setiap hari, dilempari makian, dijadikan bahan bulian.
Semuanya hadir dalam satu hantaman tanpa henti, tanpa jeda, tanpa membiarkan Naka untuk menenangkan diri barang sedetik saja.
Kalau bukan karena Reksa yang memulai semuanya, mungkin Nasa gak akan jadi sasaran pembulian saat itu.
“Eh, ada si cacat dateng bareng kembarannya tuh!”
“Yah, anak cacat mah gak cocok sekolah disini, ini kan sekolah khusus anak-anak normal.”
“Namira cocoknya masuk ke SLB sih, emangnya lo gak mau nemenin dia sekalian Nar di SLB? Kan biar kompak.”
“Naren, kembaran lo berisik banget di kelas. Bawa pulang gih sana.”
“Lagian sekolah sebagus ini kok mau nerima orang cacat sih?”
“Gak mau pindah sekolah aja Nar bareng kembaran lo yang namanya Nami itu? Sori, tapi gue takut ketularan jadi cacat soalnya.”
Naka ingat bagaimana semua perkataan jahat itu masuk ke telinga dan tertanam di lubuk hatinya yang paling dalam. Jika Naka saja bisa merasa sesakit itu mendengar semuanya, bagaimana dengan Nasa yang setiap hari menjadi korban pembulian? Naka gak bisa membayangkan betapa sedih kembarannya itu menerima semua perlakuan tidak adil semasa sekolah.
Memangnya apa salah gadis kecil itu? Salahkah ia terlahir tidak seperti kebanyakan manusia lain? Salahkah ia memiliki banyak kekurangan di dalam dirinya sendiri? Atau salahkah ia terlahir di bumi ini?
“Naka, jangan dekat-dekat Nasa. Nanti Naka gak bisa punya teman kayak Nasa.”
“Naka, kita kalo di sekolah pura-pura gak kenal aja. Biar Naka gak ikutan dibuli.”
Suara itu lagi-lagi terngiang di benak Naka. Berdengung nyaring di telinganya seperti suara dari kaset yang sengaja diputar berkali-kali.
“Naka, jangan berantem lagi ya,” lirih perkataan dari Nasa kembali terdengar di samping jok kemudi. Naka menoleh perlahan, ia seperti bisa melihat bayangan semu kembarannya sendiri sedang duduk tenang disana. “Jangan berantem sama Reksa,”
“He hurted us.”
Naka bahkan bisa merasakan tangan kecil Nasa terulur menepuk-nepuk pundak kirinya, mungkin gadis kecil itu sedang berusaha meredamkan amarah Naka yang hampir meluap. Sama seperti yang selalu dilakukannya beberapa tahun lalu ketika Naka sudah gak bisa lagi mengontrol emosi dan suka bertindak di luar nalar, Nasa akan menjadi orang pertama yang menenangkan Naka.
“Nasa gak mau ngeliat Naka berantem lagi. Udah, ya?”
Anggap saja Naka gila karena ia benar-benar menganggap bahwa bayangan Nasa itu nyata adanya. Padahal yang sebenarnya terjadi; Naka gak lebih dari sekedar memanifestasikan halusinasinya.
Ketika kesadaran kembali membawa Naka ke realita, saat itu juga lengan Naka ditarik paksa keluar dari mobil oleh Reksa.
“Narendra, I've been waited so long for this,” kata Reksa sambil mengangkat kerah baju Naka tinggi-tinggi. “Lo harus tau gimana rasanya koma kayak gue sepuluh tahun lalu kan? Biar sama-sama impas.”
Naka mendengus pelan, “Gak usah banyak basa-basi. Kalo mau ngehajar gue sekarang, hajar aja.”
“That's why I am here,” balas Reksa sambil menampilkan senyum miring. Sebuah senyum yang sampai saat ini masih Naka benci mati-matian. Naka bahkan berharap suatu hari ia bisa merobek bibir kotor itu hingga Reksa gak mampu bicara lagi.
Dan tepat saat Naka memejamkan mata, Reksa sudah meninggalkan jejak lebam di hampir seluruh tubuh Naka. Tinjuan serta pukulan itu datang bertubi-tubi tanpa jeda. Membuat Naka gak hanya tersungkur di jalanan beraspal, tapi juga membuatnya hampir kesulitan bernapas.
Dibalik semua rasa sakit yang Naka terima hari ini, ada sejuta dendam yang masih tertanam di dalam sanubari. Meskipun rasa ingin melampiaskan seluruh dendamnya sangat besar, kata-kata dari Naia dan Nasa berhasil membuat Naka hanya diam tanpa melakukan perlawanan apapun.
Apapun alesannya, jangan berantem, Ka.
Nasa gak mau liat Naka berantem.
Alhasil hari itu, Naka membiarkan dirinya menjadi samsak Reksa hingga tubuhnya benar-benar lemas tidak berdaya.
Sudah gak terhitung berapa kali Naia tampak mondar-mandir di kamarnya sendiri. Sambil menyumpal hidungnya menggunakan tisu, Naia mendengus karena darah dari hidungnya gak berhenti mengalir sejak tadi. Gadis itu pun gak tau kenapa ia bisa mimisan semendadak ini.
“Sekala pasti boong,” gumam Naia ketika melihat DM-nya gak dibalas lagi oleh Sekala, oknum yang meramal tentang Naka. “Fix dia boong! Gue juga gak bakal percaya sama ramal—”
Ucapan Naia terpotong saat mendengar pintu rumahnya diketuk tiba-tiba. Naia diam sejenak sebelum melangkahkan kaki ke arah pintu. Begitu dibuka, tampak sosok Naka berdiri disana sembari satu tangannya memegangi bagian perut. Wajah lelaki itu dipenuhi lebam, ada darah mengalir dari hidung dan di sudut bibirnya yang mulai mengering.
“NAKA???!” seru Naia panik.
Naka mengulas senyum, “Hai....”
Kekhawatiran jelas sangat kentara di wajah Naia, ia langsung menangkup kedua pipi Naka. Jemarinya menghapus bekas darah di bibir Naka secara perlahan.
“Kamu kenapa bisa begini.... Jujur sama aku, kamu abis berantem sama siapa?” tanya Naia pelan.
Bukannya menjawab, Naka justru membawa Naia ke dalam dekapan hangatnya. Memeluk gadis itu erat-erat seakan Naia bisa hilang kapan saja jika Naka tidak memeluknya seerat ini.
“Ka,” panggil Naia.
“Nai,” Naka memanggil nama Naia, membuat Naia mendongakkan kepala hanya untuk menatap Naka lebih jelas. “I'm glad for having you.”
Lagi dan lagi, Naka selalu punya cara untuk mengalihkan topik.
“Me too,” sahut Naia, “Sekarang jawab pertanyaan aku yang tadi, kamu abis berantem sama siapa sampe bisa lebam-lebam kayak gini?”
Naka tertawa pelan, “Gak berantem.”
“Bohong kamu!” sentak Naia, “Kalo gak berantem terus kenapa ini bisa—”
“Marahnya bisa ditunda gak? Obatin aku dulu,” pinta Naka.
Naia menghela napas, akhirnya menuntun Naka perlahan untuk duduk di atas sofa. Setelah Naka duduk disana, Naia berjalan ke dapur mencari kotak P3K kemudian mengobati semua luka lebam yang ada di wajah dan tubuh Naka sembari mati-matian menahan tangis.
“Kok nangis sih?” tanya lelaki itu.
“Lagian kamu tuh kenapa hobi banget bikin khawatir? Emangnya kamu pikir enak apa dibuat khawatir kayak gini? Enggak tau!” sentak Naia.
“Ya, namanya juga lagi apes, Nai.”
“Beneran apes atau kamu habis berantem??”
Naka menepuk puncak kepala Naia, “Kan aku udah iyain permintaan kamu buat gak berantem lagi. Ini emang pure lagi apes aja.”
Meski gak begitu percaya dengan perkataan Naka, Naia tetap mengangguk sebagai tanda bahwa ia percaya dengan lelaki itu.
“The important thing is,” Naka mengelus punggung tangan Naia sembari melempar senyum tipis ke arah gadis itu, “I am still alive.”
Naka berkata begitu karena ia sendiri sempat gak yakin masih bisa bernapas atau gak setelah tadi dihajar abis-abisan. Beruntung sekali Tuhan masih memberikan kesempatan bagi lelaki itu untuk tetap hidup.
Sementara Naia menunduk, diam-diam menghapus air matanya yang jatuh ke pipi.
“And know that you are here beside me, makin ngebuat jiwa gue jadi makin hidup. Soalnya dulu jiwa ini sempet mati bertahun-tahun. Makasih ya, Nai. Makasih banyak.”
Naka tertawa lagi, padahal gak ada yang lucu dari percakapan mereka berdua di sore hari itu. Satu tangan Naka kini berada di pipi Naia, mengelusnya secara perlahan merasakan betapa halus pipi itu bersentuhan dengan jari-jemarinya.
“Naia, can I hug you again?”
“You can hug me anytime.”
And from that little accident, if Naka was in pain, then Naia comes as a cure for him.