untuk segala hal yang ada bahagianya, saaih hanya butuh sekala.
saluran pernapasan sekala tercekat bagai diapit ribuan duri begitu ibunda, sosok yang selama ini sekala kagumi sepenuh hati, ingin pergi dari rumah sambil bilang bahwa itu mungkin hari terakhir mereka dapat bertukar sapa. sekala masih berumur enam tahun waktu bunda bilang begitu, masih belum mengerti apa arti kata pamit yang sebenarnya.
padahal perpisahan sudah ada di depan mata, tetapi sekala kecil bergeming diam masih berusaha mencerna realita.
sembari meratapi bunda yang mengemasi barang, sekala terduduk di anak tangga. memikirkan apa yang salah dari dirinya. apakah ia pernah secara tidak sengaja membuat bunda kecewa?
“bunda mau dibantu?” dengan polos sekala malah menawarkan bantuan, jauh dari dalam hatinya ia sedang menahan tangisan. kata orang, anak laki-laki tidak boleh menangis jika tidak mau dianggap payah dan lemah. maka yang sekala lakukan hari itu sejatinya hanya bertahan.
bertahan sampai waktu dimana hati kecilnya siap dihancurkan.
bunda menggeleng, menolak bantuan sekala. kemudian sekala menghampiri bunda, meraih tangannya yang sehalus sutra. “bun, sekala minta maaf ya kalau banyak salahnya. bunda boleh hukum sekala kalau bunda mau, tapi jangan pergi ya dari rumah?”
acap kali bunda tampak menahan tangis yang sudah menggenang di pelupuk mata, sekala melihat dengan tanda tanya terpaku dalam kepala. kalau bunda merasa sedih karena harus pergi meninggalkan rumah, mengapa bunda tidak tinggal saja?
“sekala nggak salah, anak bunda nggak pernah salah di mata bunda,” gemetar terdengar nada suara bunda di indera pendengaran sekala. dan yang bisa anak laki-laki itu lakukan hanya memberi pelukan untuk segala pelik yang sedang bunda rasakan. “justru.... bunda sayang..... sama sekala—”
“kalau bunda sayang sama sekala, kenapa bunda malah mau pergi? nanti siapa yang nemenin sekala di rumah kalau bunda nggak ada dan ayah belum pulang kerja?”
bunda mengelus puncak kepala sekala, sendu terlihat dari wajah cantiknya yang berusaha tetap mengulas senyuman meski ada secercah keputusasaan yang kentara. dilihatnya dengan penuh hati-hati anak semata wayangnya yang kini sudah tumbuh jadi anak laki-laki kuat. sembari dikecup dahinya perlahan, bunda merapal berbagai doa agar anaknya bisa bertahan ketika nanti sudah ditinggalkan.
“sekala nanti akan punya bunda yang baru, bunda barunya yang jagain sekala selama di rumah. bunda barunya yang bakal masakin sekala masakan enak.”
“siapa yang mau bunda baru? sekala nggak pernah minta, sekala cuma mau ibunda aja. nggak mau yang lain.”
yang tidak disadari sekala dan bunda sejak tadi, saaih mendengar percakapan mereka dari luar pintu rumah. dibalik pembatas dinding putih yang dipenuhi coretan indah bikinan anak semata wayangnya, saaih meredam semua air matanya disana.
“nak,” nada suara bunda mulai melembut, “waktu sudah dewasa nanti, kamu akan mengerti alasan kenapa bunda pergi. tapi untuk sekarang, cukup kamu tau bahwa meskipun bunda sudah gak lagi tinggal di rumah ini, bunda akan tetap sering kesini.”
katanya beberapa tahun lalu, bundanya akan tetap memberi kasih sayang yang selalu sekala harapkan. katanya beberapa tahun lalu, bundanya akan sering berkunjung ke rumah untuk sekedar memberikan pelukan. katanya beberapa tahun lalu, bundanya akan datang saat pembagian rapor tiba dan memberikan sebongkah ucapan apresiasi yang sekala dambakan.
katanya, yang hanya jadi omongan belaka dan tidak pernah jadi nyata.
sekala umur enam tahun masih terlalu polos untuk mengerti apa arti perceraian. ia tidak tau, bahwa sedetik setelah ayah dan bunda keluar dari kantor pengadilan agama, cerita tentang keluarga kecilnya sudah selesai sampai disana.
kini cuma ada ayah dan sekala dengan segala putus asa yang tersisa. mereka berdua tidak pernah sembuh semenjak ditinggal bunda. meski setiap hari berperan jadi aktor yang berusaha terlihat baik-baik saja, lukanya masih tertancap dalam hati mereka dan akan selamanya terbuka. menganga lebar. tidak bisa disembuhkan karena hanya bunda yang punya obatnya.
dan bunda tidak pernah datang ke rumah lagi setelah hari perpisahan itu tiba.
“ayah sayang nggak sama bunda?” sekala bertanya suatu hari, ketika mereka berdua sudah berada dalam rumah. hujan saat itu mengguyur atap rumah mereka yang beberapa bagiannya berlubang, ayah belum punya cukup uang untuk memperbaiki keadaan rumah mereka yang terlihat kurang. yang terpenting adalah mereka berdua bisa makan.
“sayang, ayah sayang banget sama bunda.”
“bunda juga bilang kalau bunda sayang sama sekala, tapi kenapa ya, yah? bunda malah pergi ninggalin kita berdua disini?”
saaih, sekali lagi, menampilkan senyum pahit. pahit sekali. padahal anaknya masih butuh sosok ibu, tetapi yang dibutuhkan justru tidak ada. mungkin ini semua memang salahnya. salahnya yang tidak pernah beri apa yang istrinya minta, salahnya yang tidak mencoba jadi sosok suami yang sempurna.
salahnya yang lahir dari keluarga sederhana dan terlalu congkak menikahi wanita berada.
“bunda bilang, sekala bakal punya bunda baru. emang bener, yah?”
tenggorokan saaih tercekat, sambil meminum segelas air putih ia memutar otak untuk beri jawab yang dinanti sang anak.
“sekala mau bunda baru?”
“nggak, sekala kan maunya bunda. bunda yang lama. bunda kita.”
“tapi sekala nggak apa-apa kan kalau habis ini cuma ada ayah di rumah? biar ayah yang nanti masakin masakan kesukaan sekala, ayah yang antar sekala ke sekolah, ayah yang ambil rapot sekala, ayah yang bakal urus sekala sampai dewasa.”
“tapi kan rasanya bakal beda, yah. terus masakan ayah juga selalu keasinan, sekala nggak suka.”
“nanti ayah belajar masak, biar sekala bisa makan makanan yang enak. biar sekala bangga karena punya ayah yang bisa masak,” ayah masih berusaha menghibur sekala. meskipun yang diajak bicara justru membisu sambil mengaduk nasi telor kecap di atas piring.
tidak ada tanda-tanda kehidupan dalam matanya yang kosong, ayah menyadari itu. namun, ayah tetap tidak akan membiarkan jiwa anaknya mati ditelan kesedihan dan keputusasaan.
“ayah masih bisa baik-baik aja kalau ditinggal bunda, tapi ayah gak akan bisa hidup lagi kalau ditinggalin sekala. jadi, tolong bertahan hidup sama ayah ya, nak?”
karena tanpa anak semata wayangnya, ayah tidak bisa jadi apa-apa.
karena kalau bukan dengan sekala, saaih tidak bisa temukan bahagia-bahagia yang baru dalam hidupnya.