n

i recommend you listen to “about you” by the 1975 while reading this! enjoy the ride<3

“jadi beneran mau pulang sendirian?” megan bertanya lagi, memastikan. takut-takut naia berubah pikiran. mereka sudah berada di stasiun sekarang, megan dan dhanti yang mengantar. meskipun keputusan naia untuk pulang sendiri ke bekasi sempat mendapat larangan dari berbagai pihak, megan tetap gak bisa menghentikan permintaan temannya itu.

naia mengangguk, “gue udah sampe stasiun, udah beli tiket juga. masa nggak jadi? kasian mama gue kalo dikasih harapan palsu ternyata gue gagal balik.”

“coba kalo masih sama naka, pasti lo gak akan pulang sendirian. terus nanti bakal ditemenin kayak yang waktu itu loh nai,” kata dhanti lagi sambil cengengesan.

megan langsung menyenggol bahu dhanti, mengisyaratkan temannya yang satu itu untuk berhenti mengungkit hal-hal yang sejatinya sudah menetap di masa lalu. “eh, sorry nai. kelepasan.”

naia hanya menanggapi dengan tawa kecil, “santai.”

begitu pemberitahuan kereta datang sudah diumumkan, megan dan dhanti langsung berhambur memeluk naia sebelum gadis itu masuk ke dalam kereta.

we'll miss you, bestie,” dhanti yang pertama melepas pelukan erat mereka.

will miss you too, gue gak akan lama kok disana cuma seminggu.”

“cuma seminggu kata lo? seminggu tuh lama,” megan mengomel.

“iya seminggu lama soalnya yang sebentar itu hubungan naka sama naia,” kata dhanti lagi.

“astaga dhanti, lo bisa gak sih gak ngeroasting temen lo sendiri?” megan jadi orang yang selalu protes. naia bagian ketawa-ketiwi aja karena udah biasa dengan sikap dhanti yang hobi roasting sana-sini.

sesaat kemudian naia beranjak naik memasuki kereta, meninggalkan megan dan dhanti yang masih setia berpijak di tempat mereka berdiri. naia melihat keluar dari tempat duduk dan menemukan megan serta dhanti sama-sama sedang melambai ke arahnya. ia lalu balas melambai melalui jendela sambil menghela nafas berat, diperhatikannya keadaan sekitar yang terlampau kosong dan lengang.

iya ya, andai masih sama naka.

sepi menyambut sesaat setelah kereta berjalan. tetapi keadaan di luar berbanding terbalik dengan suasana di dalam. mungkin karena ini bukan musim liburan, jadi hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku penumpang. kebetulan naia mengambil tiket ekonomi karena ingin menghabiskan banyak uang saat sudah berada di bekasi, jadi sengaja ia menekan pengeluaran untuk ongkos pulang pergi.

there was something about you that now i can't remember

begitu lirik lagu itu menyapa indera pendengaran, tak ada yang naia pikirkan kecuali sosok naka yang muncul dalam benaknya tanpa permisi. lelaki itu memenuhi setiap sudut dari bagian otaknya saat ini. naia menggelengkan kepala seperti berusaha mengeluarkan naka dari dalam pikiran.

bagai perangko yang ditempel pada surat-surat lawas, kehadiran naka justru malah menempel dan menetap di sana. tidak mau dikeluarkan, juga tidak bisa dilepas paksa. membuat naia jadi sedikit agak cemas. cemas karena ternyata detail-detail kecil dari lelaki itu hampir tidak dapat naia ingat lagi.

naia bahkan hampir lupa bagaimana model rambut naka saat ini, apakah warna rambut naka masih sama hitamnya seperti dulu? apakah cara jalannya masih sama? apakah naka sudah gak pernah lagi cari gara-gara dengan orang lain? apakah naka sudah berlatih menampilkan senyum ramah?

it's the same damn thing that made my heart surrender

ia akui belakangan ini sama sekali tidak berpapasan dengan naka membuatnya jadi lupa bagaimana perawakan laki-laki itu di dunia nyata. berada di satu kampus dan di fakultas yang sama pun belum tentu bisa mempertemukan kembali mereka berdua.

naka yang sekarang bukan tipe lelaki yang suka mengumbar kegiatannya di sosial media. terakhir kali naia mengecek akun twitternya, cuma diisi dengan retweet-an dari berbagai isu yang sedang terjadi di indonesia. hanya itu dan naia gak bisa memantau apakah mantan pacarnya baik-baik saja hanya lewat sana.

and i miss you on a train i miss you in the morning

she misses him so deeply and the feeling made her soul shattered like forevermore. naia rindu melihat binar cerah dari netra naka, naia rindu dijemput setiap pagi dan diantar ketika malam sudah tiba setelah mengelilingi kota malang, naia rindu masakan bunda-nya naka dan nina yang selalu menyambutnya dengan pelukan.

naia rindu segala-galanya yang ada dalam diri naka —yang saat ini tidak bisa ia lihat dalam jarak dekat, yang saat ini tidak bisa ia sentuh, yang saat ini tidak bisa lagi naia peluk.

should i text him to make sure he's okay? batin naia bersuara, sambil menimbang apakah menghubungi naka merupakan keputusan buruk atau bukan. ponselnya sudah ada dalam genggaman, hanya tinggal mengetik beberapa kata basa-basi untuk dikirimkan. naia spontan merutuki diri, ternyata terakhir kali naka menghubunginya lewat pesan, naia malah tidak membalas lagi.

“naia?”

dan hebatnya, kerinduan naia dengan naka kini mengubahnya jadi sosok yang suka berhalusinasi. ia sekarang bisa mendengar jelas suara lelaki itu di sekitar sini. aroma parfum lelaki itu bahkan tercium dari bangku yang naia duduki. sembari menunduk meratapi ponsel, dalam hati naia berharap kalau ia hanya sekedar berhalusinasi. meski nyalinya kecil, naia beranikan diri untuk mendongak menatap sekitarnya.

hanya untuk menemukan naka ada di depannya.

teduh dari sepasang netra milik naka terpancar, meski ada kekosongan dalam bola matanya. rambut naka tidak lagi sepenuhnya hitam, tapi ada sedikit warna cokelat disana. garis rahangnya tampak jelas, sepertinya lelaki ini mengurangi porsi makan.

naka-nya sudah banyak berubah.

“eh? naka?” naia bergumam kecil. entah ini sekedar halusinasi atau bagian dari mimpi, tetapi naka yang ada di depannya tampak seperti naka yang asli.

“hai..?” naka menampilkan senyum tipis, sangat tipis sampai naia gak bisa memastikan apakah lelaki itu benar-benar sedang senyum atau tidak.

naia gak sempat membalas sapaan naka, yang ada di otaknya saat ini adalah sebuah tanda tanya besar— mengapa lelaki ini bisa ada di dalam kereta yang sama dengan naia? dengan tujuan ke bekasi? sejauh yang naia tau, naka gak punya teman ataupun kerabat dekat disana. dan terakhir kali naka mengunjungi kota bekasi, lelaki itu hanya ingin menemani naia.

lalu yang sekarang, untuk apa?

why are you here?”

because you are here.”

naia mungkin bisa lupa detail-detail kecil yang ada pada diri naka. tetapi, naka tidak pernah lupa akan segala hal tentang naia-nya.

termasuk tentang ini; tentang bagaimana naia tidak bisa dibiarkan pergi seorang diri. maka tanpa diminta, naka akan senantiasa menemani kemanapun langkah gadis itu pergi.

saluran pernapasan sekala tercekat bagai diapit ribuan duri begitu ibunda, sosok yang selama ini sekala kagumi sepenuh hati, ingin pergi dari rumah sambil bilang bahwa itu mungkin hari terakhir mereka dapat bertukar sapa. sekala masih berumur enam tahun waktu bunda bilang begitu, masih belum mengerti apa arti kata pamit yang sebenarnya.

padahal perpisahan sudah ada di depan mata, tetapi sekala kecil bergeming diam masih berusaha mencerna realita.

sembari meratapi bunda yang mengemasi barang, sekala terduduk di anak tangga. memikirkan apa yang salah dari dirinya. apakah ia pernah secara tidak sengaja membuat bunda kecewa?

“bunda mau dibantu?” dengan polos sekala malah menawarkan bantuan, jauh dari dalam hatinya ia sedang menahan tangisan. kata orang, anak laki-laki tidak boleh menangis jika tidak mau dianggap payah dan lemah. maka yang sekala lakukan hari itu sejatinya hanya bertahan.

bertahan sampai waktu dimana hati kecilnya siap dihancurkan.

bunda menggeleng, menolak bantuan sekala. kemudian sekala menghampiri bunda, meraih tangannya yang sehalus sutra. “bun, sekala minta maaf ya kalau banyak salahnya. bunda boleh hukum sekala kalau bunda mau, tapi jangan pergi ya dari rumah?”

acap kali bunda tampak menahan tangis yang sudah menggenang di pelupuk mata, sekala melihat dengan tanda tanya terpaku dalam kepala. kalau bunda merasa sedih karena harus pergi meninggalkan rumah, mengapa bunda tidak tinggal saja?

“sekala nggak salah, anak bunda nggak pernah salah di mata bunda,” gemetar terdengar nada suara bunda di indera pendengaran sekala. dan yang bisa anak laki-laki itu lakukan hanya memberi pelukan untuk segala pelik yang sedang bunda rasakan. “justru.... bunda sayang..... sama sekala—”

“kalau bunda sayang sama sekala, kenapa bunda malah mau pergi? nanti siapa yang nemenin sekala di rumah kalau bunda nggak ada dan ayah belum pulang kerja?”

bunda mengelus puncak kepala sekala, sendu terlihat dari wajah cantiknya yang berusaha tetap mengulas senyuman meski ada secercah keputusasaan yang kentara. dilihatnya dengan penuh hati-hati anak semata wayangnya yang kini sudah tumbuh jadi anak laki-laki kuat. sembari dikecup dahinya perlahan, bunda merapal berbagai doa agar anaknya bisa bertahan ketika nanti sudah ditinggalkan.

“sekala nanti akan punya bunda yang baru, bunda barunya yang jagain sekala selama di rumah. bunda barunya yang bakal masakin sekala masakan enak.”

“siapa yang mau bunda baru? sekala nggak pernah minta, sekala cuma mau ibunda aja. nggak mau yang lain.”

yang tidak disadari sekala dan bunda sejak tadi, saaih mendengar percakapan mereka dari luar pintu rumah. dibalik pembatas dinding putih yang dipenuhi coretan indah bikinan anak semata wayangnya, saaih meredam semua air matanya disana.

“nak,” nada suara bunda mulai melembut, “waktu sudah dewasa nanti, kamu akan mengerti alasan kenapa bunda pergi. tapi untuk sekarang, cukup kamu tau bahwa meskipun bunda sudah gak lagi tinggal di rumah ini, bunda akan tetap sering kesini.”

katanya beberapa tahun lalu, bundanya akan tetap memberi kasih sayang yang selalu sekala harapkan. katanya beberapa tahun lalu, bundanya akan sering berkunjung ke rumah untuk sekedar memberikan pelukan. katanya beberapa tahun lalu, bundanya akan datang saat pembagian rapor tiba dan memberikan sebongkah ucapan apresiasi yang sekala dambakan.

katanya, yang hanya jadi omongan belaka dan tidak pernah jadi nyata.

sekala umur enam tahun masih terlalu polos untuk mengerti apa arti perceraian. ia tidak tau, bahwa sedetik setelah ayah dan bunda keluar dari kantor pengadilan agama, cerita tentang keluarga kecilnya sudah selesai sampai disana.

kini cuma ada ayah dan sekala dengan segala putus asa yang tersisa. mereka berdua tidak pernah sembuh semenjak ditinggal bunda. meski setiap hari berperan jadi aktor yang berusaha terlihat baik-baik saja, lukanya masih tertancap dalam hati mereka dan akan selamanya terbuka. menganga lebar. tidak bisa disembuhkan karena hanya bunda yang punya obatnya.

dan bunda tidak pernah datang ke rumah lagi setelah hari perpisahan itu tiba.

“ayah sayang nggak sama bunda?” sekala bertanya suatu hari, ketika mereka berdua sudah berada dalam rumah. hujan saat itu mengguyur atap rumah mereka yang beberapa bagiannya berlubang, ayah belum punya cukup uang untuk memperbaiki keadaan rumah mereka yang terlihat kurang. yang terpenting adalah mereka berdua bisa makan.

“sayang, ayah sayang banget sama bunda.”

“bunda juga bilang kalau bunda sayang sama sekala, tapi kenapa ya, yah? bunda malah pergi ninggalin kita berdua disini?”

saaih, sekali lagi, menampilkan senyum pahit. pahit sekali. padahal anaknya masih butuh sosok ibu, tetapi yang dibutuhkan justru tidak ada. mungkin ini semua memang salahnya. salahnya yang tidak pernah beri apa yang istrinya minta, salahnya yang tidak mencoba jadi sosok suami yang sempurna.

salahnya yang lahir dari keluarga sederhana dan terlalu congkak menikahi wanita berada.

“bunda bilang, sekala bakal punya bunda baru. emang bener, yah?”

tenggorokan saaih tercekat, sambil meminum segelas air putih ia memutar otak untuk beri jawab yang dinanti sang anak.

“sekala mau bunda baru?”

“nggak, sekala kan maunya bunda. bunda yang lama. bunda kita.”

“tapi sekala nggak apa-apa kan kalau habis ini cuma ada ayah di rumah? biar ayah yang nanti masakin masakan kesukaan sekala, ayah yang antar sekala ke sekolah, ayah yang ambil rapot sekala, ayah yang bakal urus sekala sampai dewasa.”

“tapi kan rasanya bakal beda, yah. terus masakan ayah juga selalu keasinan, sekala nggak suka.”

“nanti ayah belajar masak, biar sekala bisa makan makanan yang enak. biar sekala bangga karena punya ayah yang bisa masak,” ayah masih berusaha menghibur sekala. meskipun yang diajak bicara justru membisu sambil mengaduk nasi telor kecap di atas piring.

tidak ada tanda-tanda kehidupan dalam matanya yang kosong, ayah menyadari itu. namun, ayah tetap tidak akan membiarkan jiwa anaknya mati ditelan kesedihan dan keputusasaan.

“ayah masih bisa baik-baik aja kalau ditinggal bunda, tapi ayah gak akan bisa hidup lagi kalau ditinggalin sekala. jadi, tolong bertahan hidup sama ayah ya, nak?”

karena tanpa anak semata wayangnya, ayah tidak bisa jadi apa-apa.

karena kalau bukan dengan sekala, saaih tidak bisa temukan bahagia-bahagia yang baru dalam hidupnya.

begitu keluar rumah, karin mendapati sosok kemal sudah berdiri disamping pintu mobil. pacarnya itu sedang melamun disana sambil memperhatikan sesuatu. karin mengikuti arah pandang kemal— menuju ke arah sebuah rumah minimalis, yang terasnya diisi oleh satu keluarga harmonis yang sedang asik bercengkerama.

kemal termenung lama, menatapi keluarga itu dengan sepasang netra yang kian lama makin terlihat sendu. dadanya sedikit sesak, tapi ia berusaha menampilkan segaris senyum tipis. kemudian karin beranjak memeluk lengan kemal, menyadarkan lelaki itu untuk kembali ke realita.

“hei, ngelamun aja nih,” kata karin.

kemal mengerjap, “eh— hai, kamu udah siap?”

karin tersenyum, “udah dong!” kemudian ia menoleh lagi ke rumah sebelah. “itu tetangga tante joya, baru pindah seminggu yang lalu. tau gak, mal? nama anak mereka sama kayak kamu, dipanggil kemal juga.”

sudut bibir kemal terangkat lagi membentuk senyum kecil. ia memperhatikan sosok bocah laki-laki yang ada dalam teras rumah itu sedang dipeluk hangat oleh kedua orang tuanya, “seenggaknya dia lebih beruntung.”

“kamu juga beruntung. kan kamu punya aku,” ujar karin. gadis itu maju selangkah memeluk leher kemal sembari mengelus surai hitam legam milik pacarnya.

guratan senyum di bibir kemal tercipta kembali, karin memang paling tau cara untuk menghibur di kala ia sedang dilanda sedih. kemal lalu merengkuh pinggang karin untuk membalas pelukan gadis itu.

i have something for you,” kata kemal sambil membuka pintu mobil lagi, mengeluarkan sesuatu dari sana sebelum memberikannya pada karin.

“hamster??!” pekik karin kegirangan, refleks sedikit melompat senang begitu kandang berisi hamster itu sudah ada di tangannya. sepasang mata karin berbinar seperti baru saja menemukan harta karun paling berharga.

“aku tau akhir-akhir ini kamu sering ngelike postingan tentang hamster di twitter, waktu itu juga pernah cerita kepengen melihara hamster kan?” kata kemal menjelaskan, karin terharu melihat pacarnya mengingat sedetail itu. “ini hamsternya dirawat yang bener, jangan sampe kamu makan ya,”

karin mendelik, “emangnya muka aku keliatan kayak orang yang bakal makan hamster?”

“iya,” jawab kemal, bercanda. “ini hamster harus dikasih makan setiap hari. makanannya udah aku siapin disini. kalo mau dibiarin keluar, pastiin kamu jagain dia. kalo gak dijagain, nanti dia bisa kabur atau mati.”

karin mengangguk paham. setelah menaruh hamster di dalam rumah, karin beranjak naik ke dalam mobil kemal. lagi dan lagi, lelaki itu gemar sekali memberikan kejutan tanpa henti.

“ini apaan, mal?”

“ini jimat, dijaga baik-baik ya,” kata kemal, tentu saja bercanda, sambil memasangkan kalung berliontin k di leher karin. dengan sigap karin mengangkat rambutnya ke atas. “liontin huruf k ini jadi representasi dari nama kamu dan nama aku, biar kamu inget diri kamu sendiri dan inget aku juga. kalo kamu lagi kesepian, remember that i'll always here.”

karin tersenyum lantas memberikan satu kecupan di pipi pacarnya. “makasih banyak, kemal.”

kemal ikut mengulas senyum, “rin, hari ini mamaku juga ulang tahun. jadi aku mau bawa kamu kenalan sama mama. gapapa kan?”


rumah sakit jiwa.

mata karin membelalak membaca deretan huruf yang tersusun di atas sebuah gedung, ia pikir kemal salah tujuan atau mungkin tersasar di tempat seperti ini. tapi saat karin menyadari bahwa mobil yang ditumpanginya kini berhenti total, ia seratus persen yakin bahwa semua dugaannya yang tadi itu salah besar.

“mamaku dirawat di rumah sakit ini,” ujar kemal, seperti bisa menjawab pertanyaan karin di dalam benaknya.

karin masih diam dalam keterkejutan. ia ingin bicara tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

saat langkah kaki mereka berdua menapaki lantai rumah sakit yang dingin, suara bising dari teriakan para pasien memenuhi gendang telinga. sebagian dari pasien itu berlarian kesana kemari, meneriakkan sesuatu, bahkan ada yang menangis sampai tersedu-sedu. tidak tau apa alasannya, mereka semua terlihat seperti kehilangan arah.

karin menunduk, ia tidak pernah ke tempat ini sebelumnya. sudah pasti ia terkejut dan takut dalam waktu yang sama.

“sini deketan,” bisik kemal sambil meraih pundak karin untuk menjaganya tetap dekat dengan lelaki itu.

langkah demi langkah membawa karin ke sebuah bangunan rumah yang berdiri kokoh dekat pohon akasia yang berakar kuat. letaknya terpisah beberapa meter lebih jauh dari gedung utama. karin masih terus berjalan mengikuti langkah kemal di sampingnya.

setelah sampai, kemal tampak berbincang dengan salah satu suster perawat disana sebelum mengajak karin masuk ke dalam. “yuk, rin? gak usah takut ya? kan ada aku.”

karin melangkah masuk, melihat sosok wanita berambut panjang sedang duduk di atas kursi roda tanpa suara. tatapan mata kosong seperti tiada lagi tujuan untuk bertahan hidup, raut wajah pucat pasi, bibirnya kering. ketika karin memberanikan diri untuk mendekat, kemal tengah berlutut di depan wanita itu.

“karin, kenalin ini mamaku,” ujar kemal, memperkenalkan mamanya pada karin yang masih berdiri mematung di samping kursi roda. perhatian kemal lantas tertuju lagi kepada mamanya. “ma, ini karin. pacarnya kemal. yang sering banget kemal ceritain ke mama. pacar kemal cantik banget ya, ma?”

tak ada jawaban. ratih, mamanya kemal, masih bungkam tanpa suara. wanita itu bahkan sama sekali tidak melirik anak bungsunya yang kini sedang berlutut sambil terus mencoba membangun komunikasi.

karin mendadak sesak napas, ia menggigit bibir kuat-kuat agar tangisan yang sejak tadi ia tahan tidak keluar. ia sudah mendengar cerita hidup kemal semasa kecil dari suster ani, yang membuat karin heran adalah bagaimana kemal masih bisa bertahan di tengah ketidakadilan yang sering lelaki itu dapatkan?

“selamat ulang tahun, tante,” kini giliran karin yang berlutut di samping kursi roda. sembari mengelus punggung tangan ratih, karin merapalkan berbagai doa dalam hati. “makasih udah ngelahirin kemal. karin bersyukur banget bisa ketemu sama anak tante. karin juga seneng bisa ngerayain ulang tahun bareng kayak gini. semoga di tahun-tahun berikutnya, kita tetep bisa ngerayain bareng ya, nte?”

saat karin mengucapkan itu, kemal membiarkan air matanya mengalir membasahi pipi karena ia tau bahwa beberapa tahun kemudian, keadaan diantara mereka tidak akan sama lagi seperti hari ini.


“dulu waktu kak dimas masih ada, aku sering main kesini,” kemal angkat bicara saat pintu apartemen sudah terbuka. menampakkan ruangan besar dengan cat putih tulang yang membalut setiap dinding. terpajang banyak foto kemal dengan kakaknya di tiap sudut ruangan, menunjukkan betapa dekat hubungan mereka berdua. “tapi setelah dimas pergi, aku jarang kesini karena...”

kemal tidak lagi melanjutkan ucapannya, karin mengangguk mengerti sembari mengelus punggung lelaki itu, berusaha menyalurkan kekuatan yang ia punya.

apartemen ini terdiri dari dua kamar yang berjajar di sisi kanan, berhadapan langsung dengan living room dan pantry. balkon yang berada di luar dibatasi dengan pintu kaca sehingga pemandangan di luar masih bisa terlihat dari dalam.

“kamu masih inget gak cita-citaku waktu kecil mau jadi apa?” tanya kemal tiba-tiba.

“zookeeper? aku inget kamu cerita di atas motor waktu pertama kali kamu nganterin aku pulang,” jawab karin sedetail mungkin.

“sekarang udah berubah rin. makin dewasa, aku pengen yang realistis,” kata kemal lagi, “sekarang cita-citaku sederhana, aku cuma mau punya keluarga yang harmonis. itu aja.”

sepasang tangan melingkar di atas perut kemal; ternyata karin sedang memeluk lelaki itu dari belakang, “nanti kita bikin keluarga harmonisnya bareng-bareng ya, mal.”

kemal mengulas senyum setelah mendengar itu, meski hatinya masih terasa sesak di dalam sana. “aku gak begitu deket sama mama karena mama selalu sibuk ngurus kak dimas, makanya waktu kecil, aku lebih deket sama nenek. dulu nenek pernah bilang begini sama aku rin,

mungkin mamamu itu belum bisa jadi ibu yang sempurna untuk kamu, mal. tapi suatu saat nanti, di masa depan, atau mungkin beberapa tahun lagi, akan ada perempuan yang datang ke dalam hidup kamu dengan segala kesempurnaannya. mungkin saja dia bisa jadi pengganti mamamu. ia akan merawat dan menyayangi kamu apapun yang terjadi, persis seperti yang dilakukan mama untuk papamu selama ini. ketika saat itu tiba, kamu mungkin akan mengerti bagaimana rasanya dihargai dan dicintai.

karena aku masih kecil, jadi aku gak terlalu mikirin apa yang dibilang nenek. tapi sekarang aku ngerti dan sadar kalo omongan nenek itu terbukti,” kemal berujar sambil memutar balikkan badan, menghadap karin yang saat ini tengah menatap lelaki itu dengan sorot kebingungan.

“perempuan itu ternyata beneran dateng, sekarang dia lagi berdiri di depanku. perempuan itu..... namanya karinadine.”


Warning: 1,6k words. Enjoy the ride! 🐙🐙


Februari, 2022.

Kenapa sih bisa putus tiba-tiba?

Sebenernya ini semua berawal dari mereka yang sama-sama salah paham dan mungkin terlalu bosen dengan hubungan yang makin lama makin flat. Naka dan Naia terhitung jarang berantem, mereka udah komitmen untuk gak memperpanjang suatu masalah yang menimpa hubungan mereka. Setiap permasalahan yang ada pasti langsung dicari jalan keluarnya secepet mungkin, jadi intensitas mereka untuk berantem pun sangat jarang sekali.

Walaupun kadang dilanda rasa jenuh sama hubungan yang lagi mereka jalani, Naka selalu punya cara untuk mengatasi kejenuhan itu. Tapi entah kenapa, seiring berjalannya waktu, Naia justru merasa kehilangan dirinya sendiri setiap bareng Naka. Ada sesuatu dalam diri Naia yang membuat gadis itu ingin lepas dari genggaman lelaki itu.

Naia tau dia gak seharusnya seperti ini, tapi bertahan sama satu orang yang paling egois dalam hidupnya semakin membuat Naia jadi capek sendiri karena harus terus-terusan mengikuti ego-nya Naka.

“Nai, kamu lagi capek sama kita? Kalo iya, ayo break dulu,”

Naia tadinya gak mau break karena ia tau break adalah awal dari berakhirnya sebuah hubungan. Tapi ia juga gak punya saran lain dan akhirnya menyetujui. Setelah mereka memutuskan untuk mengurangi intensitas berhubungan, Naia jadi makin gak karuan. Ia gak bisa mengontrol perasaannya sendiri dan sadar mulai fell out love. Namun setiap hari, ia selalu berusaha menemukan cara untuk jatuh cinta lagi dengan Naka. Glad she found it again.

Puncak permasalahannya dimulai ketika Naka gak sengaja ketemu sama Nadhira di rumah sakit. Nadhira ini adalah orang yang pernah menyelamatkan Naka waktu laki-laki itu ingin melakukan percobaan bunuh diri di sekolah lamanya bertahun-tahun yang lalu. Kalau gak ada Nadhira, mungkin sekarang Naka cuma tinggal nama.

Itulah kenapa Naka berhutang budi banget sama Nadhira ini. 

Karena waktu itu belum sempet mengucapkan terima kasih, Naka mengajak Nadhira untuk ketemuan di salah satu kafe. Tentu saja, Naka gak datang kesana dengan tangan kosong. Dia bahkan menyempatkan diri untuk beli sebuket bunga dan bingkisan kecil untuk Nadhira. Naka masih gak sadar kalo tindakannya yang satu itu bisa memunculkan salah paham. Terlebih, dia gak mengabari Naia dulu kalau mau ketemu sama Nadhira.

Naka bener-bener gak ada niat selingkuh, dia beli semua itu hanya sebagai ucapan terima kasihnya ke Nadhira. Tapi ternyata, orang-orang justru menangkap maksud lain.

Foto dimana Naka dan Nadhira ketemuan di kafe diabadikan oleh Megan, kebetulan cewek itu ada di kafe yang sama dan di jam yang sama pula saat Naka dan Nadhira bertemu. Megan udah mengira yang enggak-enggak dan keadaannya makin parah ketika cewek itu justru cerita ke Naia instead of keeping it herself.

Ketika foto itu diperlihatkan oleh Megan, Naia merasakan kecewa yang teramat sangat. Yang ada di otaknya saat itu hanya dia yang ingin memutuskan hubungannya dengan Naka. Oh jadi ini alesan waktu itu Naka minta break up? Biar dia bisa bebas main sama cewek lain? Begitu yang ada di pikiran Naia. Semua penjelasan yang keluar dari mulut lelaki itu juga akan terbilang percuma karena dari awal Naia sudah mengira bahwa Naka selingkuh.

Naka sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya, tetapi Naia seakan tutup telinga bertindak seperti ia tidak mau mendengarkan.

Di saat yang bersamaan, Naka juga sama kecewanya saat menerima pesan dari Naia yang meminta untuk membatalkan rencana pertunangan mereka begitu saja. Padahal di hari itu, Naka sudah membeli cincin untuk nanti ia berikan pada Naia di hari pertunangan mereka kelak.

Pada akhirnya, mereka sama-sama menemui titik putus masing-masing. The breaking point effect was there—which leads them to feel a huge emotional breakdown caused by losing each other.


Maret, 2022.

Semenjak kesalahpahaman itu muncul, Naia selalu kemana-mana sendiri tanpa ditemani Naka. Hal ini menjadi satu dari sekian banyak konsekuensi yang harus ia hadapi setelah mengambil keputusan tersebut. Rasanya berat untuk beradaptasi lagi dengan keadaan yang baru— keadaan dimana semuanya gak sama lagi seperti dulu.

But, life must go on. Ia gak bisa terus-terusan bergantung dengan Naka, kan?

I heard the latest news about you and Naka,” Karin memulai pembicaraan saat kebetulan bertemu dengan Naia di apotek. “I'm sorry...”

Mereka sudah berbaikan dan saling meminta maaf beberapa waktu yang lalu, masalah diantara mereka berdua juga sudah tuntas. Karin sadar telah melakukan kesalahan karena hampir melabrak Naia di depan umum, Naia juga sadar kalau ia gak seharusnya masih mengharapkan Kemal ketika sudah jelas Kemal masih jadi milik Karin waktu itu.

Naia bahkan gak menyangka kalau sekarang ia bisa berteman dengan Karin, mengingat dulu ia paling anti dengan gadis itu. Ternyata Karin gak seburuk yang dibilang oleh kebanyakan orang.

Why would you say sorry? This isn't your fault,” kata Naia sambil memaksakan senyum.

How do you feel now?

All good,” jawab Naia, sudah pasti berbohong.

To be honest, gue sangat menyayangkan keputusan kalian batalin pertunangan—”

It was actually my decision, not him,” potong Naia, memperjelas ucapan Karin yang masih terdengar ambigu di telinganya. Dilihat dari raut wajah Karin, ia tampak kaget sekali.

Do you regret it?

Ditanya begitu, Naia semakin menunduk dalam. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya yang bergetar. Ofcourse she regrets it. That was the worst decision she ever made in her life. Not only losing him, she's also losing herself too. Then she realized, everything's aren't going to be the same anymore as it was. Because she had chosen this way.

Namun, jawaban yang keluar dari mulut Naia justru berbanding terbalik dengan apa yang kini ia rasakan. “I shouldn't regretting my own decision, right?


Sore ini Naka memutuskan untuk mengunjungi apartemen Kemal untuk bicara empat mata dengan sahabatnya itu. Kemal sudah boleh pulang dari tempat rehabilitasi, kondisi laki-laki juga sudah membaik dari beberapa bulan yang lalu.

“Kemal mana?” Naka bertanya pada Karin saat ia tidak menemukan eksistensi Kemal yang biasanya ada disamping gadis itu.

“Ada tuh di basemen, lagi markirin mobil,” jawab Karin sambil memasukkan pin dan membuka pintu lebar-lebar, mengisyaratkan Naka untuk masuk.

“Darimana?”

“Psikiater, tiap minggu dia kan masih harus ngejalanin psikoterapi,” kata Karin.

Naka mengangguk paham. Ia sebenernya gak begitu akur dengan Karin mengingat dari dulu ia memang gak pernah suka dengan gadis itu sehingga mereka sering kali terlibat perdebatan. Tapi ia sadar bahwa tanpa Karin, sahabatnya itu gak akan bisa berubah jadi lebih baik, “Please don't ever leave him. Even he said he wants you to leave. Everybody know Kemal needs you.

I know and I won't leave him,” balas Karin sambil mengangguk juga. “I've just met Naia this morning. Do you think this is a coincidence between you and her?

Naka lantas mendengus samar ketika nama mantannya disebut, lelaki itu masih berpura-pura tidak peduli karena ia menjunjung tinggi rasa gengsinya sendiri, “I don't think so. Lagian nggak peduli juga.”

She's doing fine, kok,” Karin masih melanjutkan omongannya.

I said I don't care.”

But she looks a little bit sick, matanya berair dan bibirnya pucet. Terakhir kali gue liat dia lagi beli obat di apote—”

“Naia sakit apa?”

Naka langsung memotong ucapan Karin tanpa tedeng aling. Lelaki itu sampai memajukan badannya sedikit, menunggu Karin bicara lagi. Air mukanya terlihat khawatir.

You just said you don't care about her? Terus sekarang kenapa nanyain?” kata Karin, sengaja membalikkan omongan Naka yang tadi. “Gengsi terus yang digedein, tapi gak ada aksinya. Dasar cowok!”

Kemal tertawa di belakang sambil merangkul pundak Naka, “She was right, Ka. Jangan kebanyakan gengsi. Kalo masih peduli tuh samperin orangnya. Tanyain langsung, biar lo juga bisa liat keadaannya gimana.”

Naka hanya mengatupkan mulut karena tau ia sedang dipojokkan.

“Lagian kenapa harus begini sih, Ka? Harus banget sampe ngebatalin rencana tunangan lo sama Naia?” tanya Kemal.

“Mal, lo harusnya tanya ke Naia. Dia kan yang mau batalin tunangan, gue cuma ngikutin apa maunya dia.”

“Terus udah? Mau lo biarin kayak gini aja?”

Naka menghela napas, “Dia yang mau semua ini berakhir, Mal. Apa lo pikir gue gak kecewa sama keputusannya? Setelah apa yang gue lakuin dan perjuangin buat dia selama ini, segampang itu dia minta batalin pertunangan? Gue manusia biasa, Mal, gue juga bisa capek.”

“Oke, gue ngerti,” Kemal mengangguk, “Tapi lo juga punya opsi buat nolak apa yang dia minta kan, Ka? Kalian berdua bisa bicarain masalah ini baik-baik. Kalo masih saling mertahanin ego masing-masing, gak akan ketemu tuh jalan keluarnya. Sekarang gue tanya lagi, emangnya lo gak mau berusaha buat memperbaiki hubungan lo sama Naia?”

“Nggak tau, gue udah kecewa sampe gak bisa mikir apa-apa,” kata Naka sembari menjatuhkan dirinya di atas sofa kosong.

Kemal jadi ikut pusing mikirinnya. Padahal ini bukan hubungan dia, tapi dia yang ribet mikir.

“Menurut lo, apa yang ngebuat Naia bisa minta batalin pertunangan kalian?”

“Dia ngira gue selingkuh.”

Kemal sampe kaget dengernya, karena ia tau Naka bukan tipe orang yang akan menduakan pasangan. “Tapi lo gak beneran selingkuh kan?”

“Mal, lo tau sendiri gimana sayangnya gue sama Naia. Gue gak akan mungkin ngelakuin itu di saat gue udah punya dia,” kata Naka menjelaskan. “Logikanya, kalo dia percaya sama gue, harusnya dia gak mikir sampe kesana. See? Dia bahkan udah gak menaruh kepercayaannya lagi buat gue.”

“Lo udah berusaha ngejelasin ke dia belum kalo lo sama sekali gak nyelingkuhin dia?”

“Udah, tapi gak tau dia denger dan mau ngerti sama yang gue omongin atau enggak. Lo tau sendiri, Mal, sifat cewek kayak gimana,”

Do you still love her?”

Naka tidak langsung menjawab.

Do you still love her? Kalo iya, lo gak akan mungkin cuma tinggal diem aja kayak gini kan?” ujar Kemal lagi, sukses membuat Naka berdecak frustasi. “Dengerin omongan gue; perjuangin apa yang harusnya lo perjuangin. Turunin rasa gengsi lo, kesampingin ego lo sendiri. Gue tau lo kecewa sama keputusan Naia, tapi bukannya lo bakal lebih kecewa lagi kalo lo harus kehilangan dia tanpa merjuangin hubungan kalian berdua?”

Omongan yang keluar dari mulut Kemal barusan sukses membuat sedikit pemikiran Naka berubah. Tetapi lelaki itu masih diam, sembari menatap layar ponselnya yang menampilkan wallpaper foto Naia dengan dirinya. Wallpaper itu belum diganti sejak terakhir kali Naka berhubungan dengan Naia.

“Jangan cuma logika doang yang dipake, tapi perasaan lo juga, Ka.”

Detik itu juga, Naka langsung beranjak bangun dari tempat duduk. Bersiap-siap ingin pergi. Padahal, Kemal baru saja akan membuatkan minum.

“Mau kemana?” tanya Kemal.

“Ke rumah Naia, lo bilang gue harus merjuangin apa yang harusnya gue perjuangin kan?”

November, 2019.

dari awal berinteraksi dengan erisa, arjuna tau bahwa cewek itu sudah mengibarkan bendera perang pada dirinya. apalagi semenjak arjuna terpilih menjadi ketua kelompok mentoring saat masa ospek berlangsung. erisa dengan kepribadiannya yang gak mau kalah itu bilang bahwa ia bisa jadi pemimpin yang lebih baik dari arjuna dan gak mau melestarikan budaya patriarki. maka waktu akhirnya arjuna terpilih menjadi ketua karena ditunjuk langsung oleh salah satu kakak tingkat, erisa otomatis langsung menabung dendam.

alasan diatas mungkin sudah bisa menjelaskan mengapa arjuna dan erisa jarang sekali akur. setiap kali ada kesempatan bertemu, mereka pasti akan saling melempar ejekan. atau lebih tepatnya, erisa yang mulai mengejek lebih dulu sebagai pelampiasan terhadap kekesalannya pada arjuna. permasalahan sekecil apapun diantara mereka selalu dijadikan bahan perdebatan.

biasanya pihak yang menjadi penengah adalah karin. namun karena belakangan ini karin terlalu sibuk pacaran dengan kemal, ia jadi gak punya waktu lagi untuk menengahi perdebatan antara arjuna dan erisa.

sampai akhirnya mereka berdua jadi capek sendiri.

“ngapain kesini?” ketus erisa saat melihat kehadiran arjuna menghampiri dirinya yang sedang duduk di bawah pohon rindang.

“gue cuma mau numpang duduk, sa. bukan mau ngajak berantem,” balas arjuna kemudian duduk di tempat kosong tepat di sebelah erisa. ia menaruh tas berisi laptop di bawah bangku kemudian menempatkan gitar yang ia bawa di atas kedua paha.

“gue juga capek sih berantem mulu sama lo, bosen.”

“nah yaudah, makanya kita baikan aja. akur selamanya.”

erisa gak menanggapi, ia kembali fokus menyusun esai di laptop. arjuna sesekali memperhatikan gadis disampingnya sambil menggenjreng gitar, niatnya sih cuma mau mencairkan suasana dengan menyanyikan lagu cantik dari kahitna.

cantik, ingin rasa hati berbisik. untuk melepas keresahan... dirimu... ooh cantik... bukan ku ingin mengganggumu. tapi apa arti merindu, selalu...”

erisa menghela napas panjang, awalnya masih membiarkan tindakan arjuna yang seenaknya bernyanyi tanpa ijin padahal erisa sama sekali gak mau mendengarkan. namun lama- kelamaan, lirik yang dinyanyikan lelaki itu jadi ambigu karena terlalu merujuk pada suatu hal yang membuat konsentrasi erisa jadi terganggu.

“jun, kalo lo ngelanjutin lirik lagu itu lagi, sumpah gue bakal mukul muka lo pake sepatu gue,” ancam erisa.

arjuna terkekeh, “kenapa sih emangnya? gue kan cuma nyanyi, sa, gue juga punya hak buat bersuara.”

“dan gue juga punya hak buat nyuruh lo diem karena gue yang nempatin bangku ini duluan.”

skakmat. arjuna gak memiliki sanggahan yang tepat untuk membalas omongan erisa barusan. pada akhirnya lelaki itu hanya diam sambil terkekeh kecil. entah apa yang lucu, mungkin raut wajah erisa-lah penyebabnya.

“liat tuh temen lo yang lagi boncengan,” arjuna mengalihkan topik, menunjuk pada dua insan yang sedang berboncengan dengan mesra di atas sebuah sepeda onthel.

erisa menoleh ke arah yang ditunjuk arjuna, sepasang matanya menangkap eksistensi kemal dan karin yang tengah mengitari pelataran kampus menggunakan sepeda tersebut. beberapa meter di belakang, sosok lelaki berkacamata membuntuti mereka berdua.

“kemal! karin! iku sepeda onthelku!” riki berteriak sambil menahan lelah karena sejak tadi mengejar sepedanya yang diambil paksa oleh kemal.

“minjem, rik. entar sepedanya gue balikin kalo bannya udah bocor,” sahut kemal, sebelum bahu lelaki itu dipukul oleh karin. “riki, maaf yaa kemal mulutnya gak bisa dikontrol. nanti sepedanya kita balikin kok kalo udah sampe depan fakultas teknik. oke ya rik?” kini giliran karin yang bersuara sampai membuat riki pasrah membiarkan mereka berdua menaiki sepeda onthelnya tersebut.

“si bucin gak tau tempat,” ketus erisa sambil bergidik geli. arjuna hanya tertawa, masih dengan mata yang memandang kemal dan karin dari kejauhan. erisa berdehem singkat sebelum angkat bicara lagi, “nggak usah cemburu gitu, jun. biasa aja ngeliatinnya.”

“hah apa? siapa yang cemburu?” arjuna kebingungan sendiri.

“ya lo lah?” sahut erisa langsung, “jujur aja sih, lo diem-diem suka kan sama karin? tapi karena sekarang karin udah jadi milik kemal makanya lo cuma bisa jadi pengagum rahasia.”

arjuna tertawa lagi, kali ini lebih kenceng dari yang tadi. “teori lo barusan aneh banget, sa.”

“tapi gue bener kan?”

“iya, gue emang suka sama karin,” kata arjuna.

erisa langsung membatin dalam hati, tuh kan bener apa dugaan gue.

but not in a romantically way, gue suka karin karena dia udah jadi temen yang baik buat gue. bukan rasa suka kayak yang lo maksud,” ujar arjuna menjelaskan. “lagian gue bukan tipe temen yang suka ngambil apa yang seharusnya jadi milik temen gue. ya intinya, gue tau batasan lah.”

erisa manggut-manggut, “iyaa gue paham.”

“malah kayaknya lo deh yang keliatan masih demen sama kemal,” kata arjuna tiba-tiba.

“mulut lo ngawur.”

“gue tau, sa. gue tau lo dulu pernah nembak kemal pas sma,” arjuna membeberkan fakta yang membuat erisa jadi panik sendiri. “kemal cerita sama gue pas lagi mabok, dia nyeritain semuanya, gue dengerin aja.”

“anjing si kemal,” umpat erisa. “bisa-bisanya dia cerita ke lo.”

“tau nggak, sa? sekali lo confess ke cowok, hal itu bakal jadi bahan omongan terus di tongkrongan mereka.”

“iya gue tau tapi kan itu udah lama, udah basi banget! gue juga udah gak suka. ngapain masih diungkit? bangsat ih si kemal, liat aja bakal gue apain tuh cowok kalo ketemu gue lagi.”

arjuna menepuk-nepuk pundak erisa, bermaksud meredakan emosi gadis itu, “jangan ya, sa. kalo lo ngehajar kemal yang ada lo malah dihajar balik sama karin. ribet nanti urusannya.”

erisa mengacak rambutnya sendiri, bener-bener frustasi. “ah anjing gue nyesel banget pernah confess ke jamet.”

“gimana rasanya ditolak, sa?” tanya arjuna iseng sambil satu tangannya merapihkan rambut erisa yang berantakan.

“gak enak. harga diri gue kayak diinjek-injek. kayaknya waktu itu gue lagi gila deh sampe bisa confess segala. makanya kan gue bilang ke karin jangan mau deh sama jamet, soalnya suka nyakitin. yah ujung-ujungnya karin jatuh juga kan ke kemal. untung nasibnya bagus,” ujar erisa. “eh ini dijadiin rahasia diantara kita aja ya jun? please jangan kasih tau ke siapa-siapa, jangan kasih tau karin juga.”

arjuna tersenyum jahil, “ya itu tergantung sih~”

“iya iyaa gue janji gak bakal nyari ribut lagi sama lo. sumpah, pegang omongan gue,” ujar erisa.

“oke, berarti abis ini gak ada perdebatan atau pertengkaran lagi diantara kita ya?” kata arjuna, kedua mata lelaki itu menyipit persis seperti kucing sementara alisnya sengaja dinaik-turunkan. erisa hanya berdehem menanggapi sembari mengalihkan pandang, sebab menatap wajah arjuna hanya akan membuat jantung gadis itu jadi berdetak tak karuan.

“gimana tuh kabar hubungan lo sama kating yang waktu itu?” tanya erisa.

“kak sargin? dia kayaknya gak tertarik sama gue padahal udah gue kejar terus. yah, mau gimana lagi? gue gak bisa maksain perasaan orang,” kata arjuna. “gue juga manusia yang bisa capek kalo perjuangan gue gak dihargain. jadi mending mundur aja.”

“mungkin dia emang bukan cewek yang tepat buat lo. gak usah sedih dah, cewek masih banyak.”

arjuna menyetujui omongan erisa, “lo sendiri gimana, sa? masih sama leon?”

“udah enggak, gue gak bisa bertahan dalam hubungan tanpa status. gue juga tau kok kalo selama ini leon mepetin cewek lain, daripada gue makan hati mending gue udahin aja.”

arjuna mengangguk. “good job, cewek keren.”

“apanya yang keren?”

“lo keren, sa. gak semua cewek berani buat mutusin hubungan yang gak baik buat diri mereka sendiri, sebagian dari mereka malah nahan.”

erisa tersenyum kecil, “apaan sih? biasa aja kali.”

“sa, kalo gue nyanyi lagi boleh nggak?” tanya arjuna. ia sengaja meminta ijin pada erisa karena kalo enggak, mungkin arjuna bakal jadi samsak cewek itu.

“nyanyi aja, gue pengen denger sebenernya seberapa bagus suara lo.”

“jangan ngeremehin gitu dong, dulu gue dapet juara satu lomba nyanyi sekabupaten bekasi tau.”

“jurinya pasti budek sih kata gue.”

arjuna tertawa mendengar perkataan erisa, lalu ia kembali memainkan senar gitarnya. petikan senar itu perlahan berubah menjadi sebuah alunan nada yang terdengar menenangkan. sementara bibir arjuna terbuka, menyanyikan salah satu lagu dalam album konspirasi alam semesta milik fiersa besari. suaranya terdengar berat, namun halus di saat yang sama.

bila kau butuh telinga tuk mendengar, bahu tuk bersandar, raga tuk berlindung, akulah orang yang selalu ada untukmu... meski hanya sebatas teman...

degup jantung erisa makin gak karuan. ia paham bahwa arjuna punya maksud tertentu dibalik lagu yang dinyanyikannya barusan. maka sebelum semuanya berakhir jadi kacau, erisa kembali bicara.

“yeah, we are just friends, jun. please remember that.”

arjuna mengangguk sembari menopang dagu, pandangannya lurus menatap kedua manik mata erisa sambil mengulas senyum lebar. wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah erisa. “but friends do not look at each other like that.”

2020, jauh sebelum cerita mereka dimulai.

naka mengunjungi perpustakan lagi hari ini.

padahal ia bukan tipe laki-laki yang suka berdiam diri di perpustakan atau menghirup aroma khas yang menguar tiap kali ia membuka buku. naka berada disini karena ia butuh referensi dari tugas kuliahnya yang belum juga tuntas dan ternyata ia juga butuh sedikit ketenangan disana sebab suasana perpustakaan yang sepi dapat menenangkan dirinya sendiri.

alasan lainnya yang gak pernah diketahui orang lain, adalah karena naka sedang mencari seseorang di perpustakaan —seorang perempuan dengan rambut panjang dan poni pendek yang menutupi dahi. di hari dimana naka pertama kali melihatnya secara sekilas, ia langsung ingat dengan nasa. perempuan itu, mirip sekali dengan kembarannya yang telah tiada.

hari berikutnya naka ke perpustakaan, ia mencari perempuan itu lagi. naka bahkan memutari setiap rak buku, mencari dengan teliti, menunggu disana sampai lehernya kaku, namun perempuan itu tidak ada disana. naka sudah bertanya pada penjaga perpustakaan tapi hasilnya nihil karena ciri-ciri perempuan yang dicari naka —dengan rambut panjang berponi, tidak hanya ada satu di kampus ini.

sampai hari-hari berikutnya naka jadi rajin mengunjungi perpustakaan, hanya untuk mendapati kenyataan bahwa ia tak lagi bertemu dengan perempuan yang sedang ia cari.


“gue gak akan mau ke perpustakaan kampus lagi,” kata naia, bicara dengan tegas di hadapan megan dan dhanti.

“lah kenapa?” dhanti bertanya.

“kemal bilang di perpustakaan ada penunggunya, dia liat waktu itu ada kuntilanak lagi baca buku.”

“wih, rajin amat tuh setan ya, gue kalah rajin,” sahut dhanti sambil ketawa.

megan menimpali, “nai, udah gue bilang gak usah bergaul lagi sama kemal. tuh cowok cuma ngibulin lo doang.”

“gak deh meg, gue percaya sama kemal karena gue tau dia beneran bisa liat apa yang gak bisa kita liat.”

dhanti tertawa lagi, “iya dah terserah lo, nai. ini mah balik ke kepercayaan masing-masing aja.”

“nai, gue baru ngeh rambut lo bagus juga kalo dipotong pendek gini,” megan mengubah topik sembari mengomentari potongan rambut naia yang baru.

naia tertegun selama beberapa saat setelah dipuji. “iya kemarin gerah banget soalnya makanya gue potong pendek sebahu.”

“gak dipakein poni lagi?”

“enggak mau, pokoknya sekarang new hair, new me and new happiness.”

“kirain new sadness, soalnya abis patah hati kan liat kemal jadian sama—”

“gak usah sebut nama ceweknya kemal, please,” naia memotong ucapan dhanti sambil menutup kedua telinganya. naia sebenernya sudah tau siapa nama ceweknya kemal, ia hanya tidak ingin mendengar namanya because it's kinda hurt her feelings. maka naia meminta kedua temannya untuk gak mengungkit nama karin kecuali jika naia yang memintanya sendiri.

setelah berbincang dengan megan dan dhanti, naia pamit undur diri untuk pergi ke ruang administrasi. siapa sangka kalau disana ia justru akan bertemu dengan sosok yang saat ini sedang mati-matian ia hindari.

aduh, naia membatin dalam hati sambil mengalihkan pandangan ke lain arah. intinya supaya kemal gak melihat eksistensinya di sekitar sana.

namun takdir gak pernah berpihak baik kepada perempuan itu.

“hei, naia!” kemal malah memanggil namanya.

anjir malah disapa, naia membatin lagi sambil meringis. kemudian ia menoleh pada kemal sambil memaksakan senyum. “hai, mal.”

“lama gak ketemu nih,” kata kemal.

iya soalnya gue sengaja ngehindarin lo. “hahaha iya nih soalnya gue lagi sibuk menata hati.”

kemal manggut-manggut sambil tertawa, “cepet sembuh hatinya ya nai.”

naia tersenyum pahit, “hehe makasih, mal.”

“eh potongan rambut lo bagus juga, jadi keliatan fresh gini. cantik, nai.” kemal memuji naia dengan maksud mengapresiasi penampilan baru perempuan itu, tetapi naia justru menangkap maksud lain. semesta mungkin memang suka bercanda. entah siapa yang harus disalahkan disini, naia dengan perasaan mudah jatuhnya atau kemal dengan sifat baiknya.

“hehehe makasih lagi, mal....” ujar naia pelan.

“eh iya sorry gue duluan ya, nai? pacar gue udah nunggu disana,” kemal menepuk pundak naia sekali, membuat naia seperti dijatuhkan lagi ke bumi setelah tadi sempat dibawa terbang ke langit. “lo gapapa kan sendiri?”

“iya gapapa mal, kan biasanya gue juga sendirian,” timpal naia sambil tertawa garing.

“oke, kalo gitu see you, nai.”

kemudian kemal pergi meninggalkan naia seorang diri di depan ruang administrasi. naia masih memperhatikan punggung lelaki itu yang semakin jauh dimakan oleh jarak. sepasang matanya berubah sendu melihat raga kemal dipeluk oleh perempuan cantik di ujung sana. kemal tampak bahagia di dalam pelukan karin. dan naia hanya bisa meratapi mereka berdua dari tempatnya berdiri —seperti ia sedang berusaha untuk tetap kuat di atas ribuan duri.

naia akhirnya tidak jadi masuk ke ruang administrasi karena ia gak tahan dengan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. perempuan itu berbalik, lantas berjalan sambil menunduk, menangkup wajah sambil menahan tangis.

dari arah yang berlawanan, naka dan kian sedang berjalan santai menuju ke ruang administrasi. mereka bertiga saling berpapasan. kian harusnya menyapa naia karena naia adalah temannya, tetapi potongan rambut naia yang baru dan posisi naia yang berjalan sambil menutupi wajah membuat kian sama sekali gak mengenali keberadaan perempuan itu.

naia justru malah menabrak bahu naka.

namun, perempuan itu tetap berjalan menjauh tanpa mengucapkan kata maaf karena ia sudah kepalang sedih.

naka sampai berhenti melangkah setelah menyadari bahunya ditabrak begitu saja. ia bisa saja meluapkan amarah. tapi begitu menoleh ke belakang pada perempuan berambut sebahu yang kini sedang berjalan menunduk memunggungi naka, entah mengapa amarah lelaki itu langsung meluap hilang.

“woi ka, kok berhenti jalan?” kian membuyarkan lamunan naka.

“sorry,” naka menyusul langkah kian di depan sana. “eh ki,”

“kenapa?”

“lo pernah gak ngerasa lagi gak kenapa-napa tapi tiba-tiba lo jadi sedih?” tanya naka.

“kalo gue pribadi sih jarang ngerasa begitu,” jawab kian, “kenapa emangnya? lo lagi ngerasa?”

naka menggedikkan bahu. “just asking.”

“kalo misal nih lo ngerasa sedih tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, bisa jadi lo lagi depresi, ka.”

naka menggeleng, “nggak, ki. i'm good.”

glad to hear that,”

“cuma anehnya kadang gue ngerasa sedih tanpa alasan yang jelas, kayak hati gue ini abis ditusuk? ah, nevermind.”

“ka, pernah denger soulmate things gak?” kian bertanya dengan raut wajah sumringah.

“apaan itu?”

“gue gak memaksa lo harus percaya sama omongan gue, but i do believe in soulmate things. kayak gini gue misalin, lo lagi sedih tanpa alasan yang jelas sekarang, mungkin di luar sana soulmate lo lagi merasa sedih juga, jadi lo terhubung sama soulmate lo itu dengan merasakan kesedihan yang sama.”

naka menaikkan satu alisnya, “nonsense.”

“yaa gue kan udah bilang tadi terserah mau percaya apa gak, gue gak akan maksa.” sahut kian.

“terus kalo misalnya, yang lo bilang tadi itu bener—” naka menggantung ucapannya sambil menggaruk tengkuk, “what should i do for my-so-called-soulmate biar dia gak ngerasa sedih lagi?”

maybe you should find her,” jawab kian dengan raut meyakinkan. “make her believe in you or you can bring so much happiness for her?”

naka tidak menyahuti perkataan kian lagi, ia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia mengerti.

“ohiya satu lagi, ka,” kian angkat bicara sambil merangkul pundak naka. “as far as i know, soulmate doesn't supposed to hurt each other.”

naka terdiam, omongan kian barusan sangat membekas di benaknya.

“gih ka, mending dari sekarang cari tuh belahan jiwa lo.”

“ki, i don't know where she is,”

maybe she is here, around us. maybe she is now waiting for you to come,” kata kian lagi, “find her, naka. maybe your soulmate needs you.


content warning: kissing scene. not safe for work. read at your own risks.


karin menginjakkan kaki di halaman rumah kemal. rumah dengan interior klasik bercat putih tulang itu sangat besar, dikelilingi berbagai macam tanaman di sudut kanan dan kiri yang tak terhitung jumlahnya. garasi yang terletak di sebelah kiri menampakkan deretan motor kemal yang berjejer dengan model berbeda, karin yakin kemal menghabiskan hampir seluruh uangnya untuk memodifikasi motor. ada sekitar tiga mobil juga yang terparkir di garasi, mungkin milik papa kemal. sebab pacarnya itu terhitung jarang sekali pergi ke kampus atau kemana pun mengendarai mobil.

“sopo iki? koncone mas kemal ta?” (siapa ini? temennya mas kemal ya?) perempuan paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluh tahun, menghampiri karin yang tampak kebingungan di depan teras rumah.

karin meringis pelan, “saya pacarnya, bi.”

“oalah, pantes uayu tenan,” perempuan itu tertawa sambil mengangguk, “mas kemalnya ada di samping rumah mba. lagi ngasih makan kelinci.”

“oh, kemal melihara kelinci?”

mata karin sontak berbinar, kemudian ia dibawa ke halaman samping rumah oleh mbok ijah—perempuan paruh baya itu ternyata hanya mau dipanggil dengan sebutan mbok. tak hanya kelinci, terdapat macam-macam hewan menyambut pemandangan matanya disini. kemal gak bohong waktu bilang ingin punya kebun binatang kecil-kecilan, ternyata memang beneran ada di rumahnya.

“kemal!” panggil karin sambil berlari ke arah lelaki itu.

“hai, sayang?” kemal tampak kebingungan karena ia gak menyangka karin akan datang ke rumahnya sepagi ini.

“mal, ini lucu-lucu banget kelincinya. kenapa kamu nggak pernah cerita kalo kamu melihara kelinci?!”

“hehehe maaf, nggak inget soalnya. kadang aku lupa kalo punya hewan peliharaan gara-gara keseringan nongkrong di luar,”

karin manggut-manggut paham mendengar penjelasan kemal sambil mengelus salah satu kelinci yang sedang memakan wortel. lalu kemal pergi untuk mencuci tangan sebelum memeluk tubuh karin dari belakang. dagunya bertengger dengan sempurna di pundak karin.

“kok kamu gak bilang mau kesini?” tanya kemal.

“sengaja lah, kan surprise,” kata karin. jemarinya yang lentik saat ini berada di atas kepala kemal, merapihkan rambut lelaki itu dengan tangan satunya yang tadi tidak digunakan untuk mengelus kelinci. lantas ia berjinjit dikit untuk mengecup lesung di pipi kemal. “ngomong-ngomong, aku masih nggak nyangka bisa pacaran sama bas yang asli.”

“karin,” panggil kemal, beneran rasanya jantung lelaki itu seperti jatuh ke dengkul.

“iya mas?”

kemal menghela napas setelah dibuat salah tingkah berkali-kali, “kan aku udah bilang jangan panggil mas.”

karin mengangguk tetapi mulutnya tetap mengatakan, “mas kemal mas kemal mas kemal,” sepanjang ia berjalan di samping lelaki itu menuju ke dalam rumah. kemal sampe tutup telinga.

“udah?” tanya kemal waktu karin berhenti bicara.

karin tertawa puas setelah berhasil meledek kemal, “udah.”

seorang bocah perempuan menghampiri sofa dimana kemal dan karin duduk berdua. umurnya mungkin sekitar tiga tahun. rambut bocah itu dikuncir, ia berlari kecil sambil membawa selembar kertas gambar ke arah kemal.

“mal, ini anak siapa?” tanya karin.

“anaknya mbok ijah, namanya leia. cantik ya? aku yang kasih nama waktu dia lahir,” kata kemal menjelaskan.

selalu seperti ini, selalu ada bagian dari diri kemal yang membuat karin terpana dibuatnya.

kemal lalu menerima kertas gambar dari leia, isinya adalah figur satu keluarga yang digambar oleh krayon warna-warni. figur dalam gambar itu memperlihatkan keluarga kemal ketika masih utuh— ada papa, mama, kemal dan dimas, kakaknya kemal. leia mungkin mendapat inspirasi gambar itu dari foto keluarga yang terpajang di sudut rumah ini. “makasih, leia. gambar kamu selalu bagus.”

leia tersenyum senang. karin ikut tersenyum lebar saat melihat eksistensi bocah itu.

“mbok ijah sama keluarganya tinggal di belakang rumah ini, aku yang suruh. soalnya rumah ini sepi banget rin, kadang cuma ada aku sendiri jadi aku minta mbok ijah sama keluarganya buat tinggal disini juga,” kata kemal lagi.

“emangnya mama kamu kemana, mal?” tanya karin. tepat seperti dugaannya, raut muka kemal langsung berubah. guratan sendu yang terlukis di wajah lelaki itu muncul seketika menghadirkan sebuah tanda tanya dalam benak karin.

“mamaku... ada.... tapi nggak disini. mama lagi ngejalanin perawatan khusus di rumah sakit,” kemal menjawab dengan sedikit terbata.

“mal—”

“gapapa, nggak usah khawatir. mama udah sembuh kok, cuma harus dapet perawatan lagi. kapan-kapan aku ajak ketemu mama, ya? mau?”

“mau banget,” sepasang mata karin berbinar lagi. “aku tadinya pengen banget ketemu mama kamu sekarang, tapi ternyata mama kamu gak di rumah.”

“minggu depan aku ajak ke tempat mama deh, tapi jangan berekspetasi lebih ya rin.”

karin tidak tau apa maksud “berekspetasi lebih” yang dibilang oleh kemal barusan, tapi ia tetap menganggukkan kepala.

leia masih ada disana, di sekitar mereka berdua, sedang menuliskan sesuatu di atas kertas.

“leia agak susah bicaranya, jadi dia selalu nulis apa yang mau dia bilang di kertas,” kemal angkat bicara lagi, seperti ia bisa menjawab pertanyaan dalam benak karin.

kemudian leia memberikan kertas tersebut pada kemal sebelum pergi ke dapur. tulisan selamat ulang tahun, mas kemal tertulis disana. karin lantas melebarkan bola mata, ia lupa kalo hari ini tanggal lima november — hari dimana kemal lahir.

“mal, aku baru inget hari ini kamu ulang tahun tapi aku gak bawa apa-apa,” karin berseru frustasi.

kemal terkekeh, “ya gapapa, kamu dateng ke rumah hari ini rasanya udah jadi hadiah buat aku. you already surprised me.

“tapi leia kasih kamu hadiah yang bener-bener hadiah, mal. masa aku enggak?”

kemal tertawa lagi, lalu ia membawa karin duduk di pangkuannya. satu tangan kemal yang bebas memeluk pinggang karin, sementara yang satu lagi ia gunakan untuk menyampirkan rambut gadis itu ke belakang telinga. “rin, just in case you didn't know about this before— your whole existence in my life is such a best gift for me.

karin diam tanpa kata. tidak tau harus bicara apa.

“tapi yaa kalo kamu masih maksa mau ngasih hadiah, i think a kiss in my lips sounds really nice for you to try.

karin lantas menyentil bibir kemal, “nakal.”

kemal tertawa, lesung di pipinya terlukis sempurna sementara kedua matanya menyipit. sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah lagi. kemal memang pandai dalam urusan memainkan ekspresi wajah. “so, wanna try me?“

alright, but you need to close your eyes first.”

kemal menurut. ia memejamkan kedua mata, masih dengan bibir yang melengkung sempurna membentuk sebuah senyum penuh kemenangan. karin diam-diam menarik napas panjang sebelum meletakkan kedua tangan di rahang kemal. dielusnya rahang itu dengan perlahan sebelum ia mendaratkan satu kecupan singkat pada bibir laki-laki itu.

“udah, mal.”

“hah udah?” kemal membuka mata, “nggak kerasa rin, sumpah.”

karin bengong, “kok nggak ngerasa?”

“iya, kurang lama soalnya.”

“yeeee maumu!”

kemudian mereka tertawa, dunia pada hari itu serasa hanya milik mereka berdua saja. setelah tawa mereka reda, kemal menatap karin seintens mungkin, menelusuri sepasang manik indah milik gadis itu yang selalu ingin ia puji setiap hari. perlahan, kemal mendekatkan wajahnya dan kini gantian karin yang memejamkan mata.

karin merasakan bibirnya dibungkam oleh bibir milik kemal. karin sama sekali gak melakukan penolakan, karena memang ini yang ia inginkan. semakin lama, ciuman kemal semakin turun.

can i kiss your neck?” kemal berbisik di dekat telinga karin.

“hm?”

can i, rin?”

karin mengangguk pelan. baru setelah diperbolehkan, kemal mengecup titik sensitif pada tubuh karin, sekali, dua kali, hingga berkali-kali sampai kecupan itu berubah menjadi gigitan kecil. tangan karin masih bertengger di belakang kepala kemal untuk meremas rambut lelaki itu. kemudian kemal berhenti, melihat hasil karyanya sendiri, bekas kemerahan tampak di sekitar leher pacarnya itu.

is this too much?“

no—it's okay, i like it tho,” karin menjawab pertanyaan kemal sambil mengelus pipi lelaki itu, “i am totally yours now. thank you, sayang.”

“gue.... ganggu.... ya?”

baik kemal dan karin sama-sama menoleh kaget ke sumber suara. entah sejak kapan, naka sudah berdiri di depan pintu. tentu saja lelaki itu menyaksikan semua adegan di atas sofa yang dilakukan oleh kemal dan karin beberapa detik lalu.

biasanya naka hanya menyaksikan di televisi, tapi saat kini menyaksikannya di depan mata langsung dengan temannya sendiri yang memerankan adegan tersebut....... rasanya naka mau muntah.

tak tahan dengan keheningan diantara mereka bertiga, naka bersuara lagi. “ini gue ganggu nggak sih?”

“iya,” bukan kemal yang menjawab, tapi karin. kemal geleng-geleng kepala mengingat pacarnya ini terlalu jujur.

“ngapain, ka?” tanya kemal. kehadiran naka di rumahnya pasti bukan tanpa alasan.

“ngasih kue buat lo, bunda yang buat. katanya selamat bertambah umur mal,” naka bicara sambil menaruh sekotak wadah kue di atas meja tamu. “dah gue cuma mau ngasih ini doang abis itu balik. lanjutin aja tuh kegiatan maksiatnya. gue gak mau ganggu lagi. sorry ya.”

selepas kepergian naka, kemal dan karin hanya saling tatap tanpa melakukan apapun. lebih tepatnya, mereka sama-sama canggung karena baru aja ke-gep naka.

kemal lantas berdehem pelan. “mau lanjut lagi nggak, rin?”


content warning: kissing scene. not safe for work. read at your own risks.


karin menginjakkan kaki di halaman rumah kemal. rumah dengan interior klasik bercat putih tulang itu sangat besar, dikelilingi berbagai macam tanaman di sudut kanan dan kiri yang tak terhitung jumlahnya. garasi yang terletak di sebelah kiri menampakkan deretan motor kemal yang berjejer dengan model berbeda, karin yakin kemal menghabiskan hampir seluruh uangnya untuk memodifikasi motor. ada sekitar tiga mobil juga yang terparkir di garasi, mungkin milik papa kemal. sebab pacarnya itu terhitung jarang sekali pergi ke kampus atau kemana pun mengendarai mobil.

sopo iki? koncone mas kemal ta?” (siapa ini? temennya mas kemal ya?) perempuan paruh baya, mungkin umurnya sekitar empat puluh tahun, menghampiri karin yang tampak kebingungan di depan teras rumah.

karin meringis pelan, “saya pacarnya, bi.”

“oalah, pantes uayu tenan,” perempuan itu tertawa sambil mengangguk, “mas kemalnya ada samping rumah mba. lagi ngasih makan kelinci.”

“oh, kemal melihara kelinci?”

mata karin sontak berbinar, kemudian ia dibawa ke halaman samping rumah oleh mbok ijah—perempuan paruh baya itu ternyata hanya mau dipanggil dengan sebutan mbok. tak hanya kelinci, terdapat macam-macam hewan menyambut pemandangan matanya disini. kemal gak bohong waktu bilang ingin punya kebun binatang kecil-kecilan, ternyata memang beneran ada di rumahnya.

“kemal!” panggil karin sambil berlari ke arah lelaki itu.

“hai, sayang?” kemal tampak kebingungan karena ia gak menyangka karin akan datang ke rumahnya sepagi ini.

“mal, ini lucu-lucu banget kelincinya. kenapa kamu nggak pernah cerita kalo kamu melihara kelinci?!”

“hehehe... nggak keingetan soalnya. kadang juga aku lupa kalo punya hewan peliharaan gara-gara keseringan nongkrong bareng temen,”

karin manggut-manggut mendengar penjelasan kemal sambil mengelus salah satu kelinci yang sedang memakan wortel. lalu kemal pergi untuk mencuci tangan sebelum memeluk tubuh karin dari belakang. dagunya bertengger dengan sempurna di pundak karin.

“kok kamu gak bilang mau kesini?” tanya kemal.

“sengaja lah, kan surprise,” kata karin. jemarinya yang lentik saat ini berada di atas kepala kemal, merapihkan rambut lelaki itu yang masih berantakan efek dari bangun tidur. lantas ia berjinjit dikit untuk mengecup lesung di pipi kemal. “ngomong-ngomong, aku masih nggak nyangka bisa pacaran sama bas yang asli.”

“karin,” panggil kemal, beneran rasanya jantung lelaki itu seperti jatuh ke dengkul.

“iya mas?”

kemal menghela napas setelah dibuat salah tingkah berkali-kali, “kan aku udah bilang jangan panggil mas.”

karin mengangguk tetapi mulutnya tetap mengatakan, “mas kemal mas kemal mas kemal,” sepanjang ia berjalan di samping lelaki itu menuju ke dalam rumah. kemal sampe tutup telinga.

“udah?” tanya kemal waktu karin berhenti bicara.

karin tertawa puas, “udah.”

seorang bocah perempuan menghampiri sofa dimana kemal dan karin duduk berdua. umurnya mungkin sekitar tiga tahun. rambut bocah itu dikuncir, ia berlari kecil sambil membawa selembar kertas gambar ke arah kemal.

“mal, ini anak siapa?” tanya karin.

“anaknya mbok ijah, namanya leia. cantik ya? aku yang kasih nama waktu dia lahir,” kata kemal menjelaskan.

selalu seperti ini, selalu ada bagian dari diri kemal yang membuat karin terpana dibuatnya.

kemal lalu menerima kertas gambar dari leia, isinya adalah figur satu keluarga yang digambar oleh krayon warna-warni. figur dalam gambar itu memperlihatkan keluarga kemal ketika masih utuh— ada papa, mama, kemal dan dimas, kakaknya kemal. leia mungkin mendapat inspirasi gambar itu dari foto keluarga yang terpajang di sudut rumah ini. “makasih, leia. gambar kamu selalu bagus.”

leia tersenyum senang. karin ikut tersenyum lebar saat melihat eksistensi bocah itu.

“mbok ijah sama keluarganya tinggal di belakang rumah ini, aku yang suruh. soalnya rumah ini sepi banget rin, kadang cuma ada aku sendiri jadi aku minta mbok ijah sama keluarganya buat tinggal disini juga,” kata kemal lagi.

“emangnya mama kamu kemana, mal?” tanya karin. tepat seperti dugaannya, raut muka kemal langsung berubah. guratan sendu yang terlukis di wajah lelaki itu muncul seketika menghadirkan sebuah tanda tanya dalam benak karin.

“mamaku... ada.... tapi nggak tinggal disini. mama lagi ngejalanin perawatan khusus di rumah sakit,” kemal menjawab dengan sedikit terbata. sambil menetralkan ekspresi, ia lalu menghela napas. “kapan-kapan aku ajak ketemu mama, ya? mau?”

“mau banget,” sepasang mata karin berbinar lagi. “aku tadinya pengen banget ketemu mama kamu sekarang, tapi ternyata mama kamu gak di rumah.”

“minggu depan aku ajak ke tempat mama deh, tapi jangan berekspetasi lebih ya rin.”

karin tidak tau maksud “berekspetasi lebih” yang dibilang oleh kemal barusan, tapi ia tetap menganggukkan kepala.

leia masih ada disana, di sekitar mereka berdua, sedang menuliskan sesuatu di atas kertas.

“leia agak susah bicaranya, jadi dia selalu nulis apa yang mau dia bilang di kertas,” kemal angkat bicara lagi, seperti ia bisa menjawab pertanyaan dalam benak karin.

kemudian leia memberikan kertas tersebut pada kemal sebelum pergi ke dapur. tulisan selamat ulang tahun, mas kemal tertulis disana. karin lantas melebarkan bola mata, ia lupa kalo hari ini tanggal lima november — hari dimana kemal lahir.

“mal, aku baru inget hari ini kamu ulang tahun tapi aku gak bawa apa-apa,” karin berseru frustasi. “aduh aku cuma bawa bubur doang buat sarapan bareng sama kamu.... kenapa aku gak bawa hadiah kenapa aku bisa lupa....”

kemal terkekeh, “ya gapapa, kamu dateng ke rumah hari ini rasanya udah jadi hadiah buat aku. you already surprised me.

“tapi leia kasih kamu hadiah yang bener-bener hadiah, mal. masa aku enggak?”

kemal tertawa lagi, lalu ia membawa karin duduk di pangkuannya. satu tangan kemal yang bebas memeluk pinggang karin, sementara yang satu lagi ia gunakan untuk menyampirkan rambut gadis itu ke belakang telinga. “rin, just in case you didn't know about this before— your whole existence in my life is such a best gift for me.

karin diam tanpa kata. tidak tau harus bicara apa.

“tapi yaa kalo kamu masih maksa mau ngasih hadiah, i think a kiss in my lips sounds really nice for you to try.”

karin lantas menyentil bibir kemal, “nakal.”

kemal tertawa, lesung di pipinya terlukis sempurna sementara kedua matanya menyipit. sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah lagi. kemal memang pandai dalam urusan memainkan ekspresi wajah. “so, wanna try me, babygirl?

alright, but you need to close your eyes first.”

kemal menurut. ia memejamkan kedua mata, masih dengan bibir yang melengkung sempurna membentuk sebuah senyum penuh kemenangan. karin diam-diam menarik napas panjang sebelum meletakkan kedua tangan di rahang kemal. dielusnya rahang itu dengan perlahan sebelum ia mendaratkan satu kecupan singkat pada bibir laki-laki itu.

“udah, mal.”

“hah udah?” kemal membuka mata, “nggak kerasa rin, sumpah.”

karin bengong, “kok nggak ngerasa?”

“iya, kurang lama soalnya.”

“yeeee maumu!”

kemudian mereka tertawa, dunia pada hari itu serasa hanya milik mereka berdua saja. setelah tawa mereka reda, kemal menatap karin seintens mungkin, menelusuri sepasang mata indah milikk gadis itu yang selalu ingin ia puji. perlahan, kemal mendekatkan wajahnya dan kini gantian karin yang memejamkan mata.

karin merasakan bibirnya dibungkam oleh bibir milik kemal. karin sama sekali gak melakukan penolakan, karena memang ini yang ia inginkan. semakin lama, ciuman kemal semakin turun.

can i kiss your neck?” kemal berbisik di dekat telinga karin.

“hm?”

can i, rin?”

karin mengangguk pelan. baru setelah diperbolehkan, kemal mengecup titik sensitif pada tubuh karin, sekali, dua kali, hingga berkali-kali sampai kecupan itu berubah menjadi gigitan kecil. tangan karin masih bertengger di belakang kepala kemal untuk meremas rambut lelaki itu. kemudian kemal berhenti, melihat hasil karyanya sendiri, bekas kemerahan tampak di sekitar leher pacarnya itu.

is this too much?

no—it's okay, i like it tho,” karin menjawab pertanyaan kemal sambil mengelus pipi lelaki itu, “i am totally yours now. thank you, sayang.”

“gue.... ganggu.... ya?”

baik kemal dan karin sama-sama menoleh kaget ke sumber suara. entah sejak kapan, naka sudah berdiri di depan pintu. tentu saja lelaki itu menyaksikan semua adegan di atas sofa yang dilakukan oleh kemal dan karin beberapa detik lalu.

biasanya naka hanya menyaksikan di televisi, tapi saat kini menyaksikannya di depan mata langsung dengan temannya sendiri yang memerankan adegan tersebut....... rasanya naka mau muntah.

tak tahan dengan keheningan diantara mereka bertiga, naka bersuara lagi. “ini gue ganggu nggak sih?”

“iya,” bukan kemal yang menjawab, tapi karin. kemal geleng-geleng kepala mengingat pacarnya ini terlalu jujur.

“ngapain, ka?” tanya kemal. kehadiran naka di rumahnya pasti bukan tanpa alasan.

“ngasih kue buat lo, bunda yang buat. katanya selamat bertambah umur mal,” naka bicara sambil menaruh sekotak wadah kue di atas meja tamu. “dah gue cuma mau ngasih ini doang abis itu balik. lanjutin aja tuh kegiatan maksiatnya. gue gak mau ganggu lagi. sorry ya.”

selepas kepergian naka, kemal dan karin hanya saling tatap tanpa melakukan apa-apa. lebih tepatnya, mereka sama-sama canggung karena baru aja ke-gep naka.

“mau lanjut lagi nggak, rin?”

Jakarta dan Jogja.

Adalah dua kota yang sama-sama menjadi tempat paling istimewa dalam hidup Luna. Perbedaan diantara keduanya hanya terlihat dari segi suasana, letak tempat dengan jarak yang berjauhan serta berbagai kenangan yang tersimpan di dalamnya. Jika Jakarta selalu saja memberikan luka, maka Jogja akan menjadi tempat persinggahan bagi Luna untuk menyembuhkan diri sehingga ia bisa melupakan seluruh rasa sakit yang sedang ia derita. Meskipun kenyataan berkata demikian, Luna tetap mencintai Jakarta sama seperti ia mencintai setiap inci kota Jogja— karena di Jakarta lah raganya lahir dengan wujud paling sempurna.

Luna pikir di tahun yang baru dengan kehidupan barunya ini, Jakarta akan berubah sedikit baik padanya, atau minimal, Jakarta tidak lagi memberikannya segores luka. Tapi ternyata, Luna terlalu berbaik sangka. Jakarta lagi-lagi mengukir sebuah luka baru dengan mendatangkan sosok lelaki yang sudah berpaling ke lain hati; lelaki itu tak hanya memutuskan sebuah hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya, tetapi juga memberikan sepucuk undangan pernikahan dan bukan nama Luna yang terukir di atasnya.

Tentu saja pada hari itu, ada begitu banyak sesuatu yang patah— dari cinta, angan, harapan, sampai berbagai impian yang sejak dulu sengaja dirajut oleh Luna bersama laki-laki bernama Sagara, kini hanya tinggal jadi kenangan semata.

I'm so sorry for saying this, but I fell out love and I couldn't do anything about it. There's nothing I can do to fix our relationship. It was my fault, Lun. I met someone new and I realized I can't be in love with you or try again as everyone has said to me because the sparks was gone.”

It was casually cruel in the name of being honest. Luna tidak percaya hatinya akan sepatah ini saat mendengar runtutan kalimat itu keluar dari mulut Sagara. Padahal gadis itu selalu berusaha ada, ia bahkan tidak pernah melakukan tindakan yang dapat merusak hubungan mereka berdua. Namun, seluruh kepercayaannya selalu dipatahkan dengan cara paling kejam.

Thanks for breaking my heart, Ga. Makasih juga buat undangan pernikahannya, you should've said to me dari bulan lalu biar gue gak sepatah ini but it doesn't matter lagi sih. I'm happy as long as you are happy too.”

It was so fucking cruel for her.


12 Januari, Stasiun Jogja.

Luna memutuskan untuk melarikan diri lagi ke Jogjakarta. Kota itu memang akan selalu jadi tempat persinggahan terakhir baginya. Ia sudah cukup muak dengan hiruk pikuk Jakarta yang selalu saja memberikan luka dan mendatangkan masalah yang tiada ujungnya, maka hari ini biarlah ia hidup dengan sebebas-bebasnya di daerah istimewa itu.

Luna tidak sendiri, ia ditemani oleh ketiga kawannya yang sudah siap sedia menemani gadis itu dengan embel-embel staycation bersama. Ada Hanan, Gita dan Yarda. Mereka bahkan sudah membagi tugas masing-masing; Hanan kedapatan memesan tiket pulang-pergi, Yarda bagian mengurus tempat penginapan, dan Gita menjadi tour guide dadakan yang akan merekomendasikan berbagai tempat wisata selama mereka singgah di Jogja.

Kamar penginapan tentu saja dibagi secara terpisah, namun mereka tetap harus kemana-mana berempat untuk menghindari kejadian tidak diinginkan.

“Nanti pada kenalan dulu sama temen gue ya, dia yang bakal jadi photographer kita selama liburan disini,” kata Hanan begitu kereta yang mereka tumpangi tiba di Stasiun Jogjakarta.

Luna kontan menoleh pada hanan, “Siapa?”

“Temen gue,” jawab Hanan

“Iya tau, siapa namanya, Nan?” kata Luna lagi, memperjelas pertanyannya yang tadi.

Hanan ber-oh panjang sebelum menjawab, “Namanya Khailil, nanti orangnya dateng kesini ngejemput kita berempat. Jadi kita kagak usah dah mesen taksi online segala, biar irit ongkos,”

“Berguna juga temen lu,” sambar Yarda. Diantara yang lain, Yarda memang pihak yang paling irit bicara. Berbanding terbalik dengan Hanan, lelaki dengan surai kecokelatan itu mampu mengoceh tiap jam tanpa henti.

“Yoi, berterima kasih lu semua sama gue. Terutama yang baru aja patah hati nih,” kata Hanan lagi sambil menyenggol bahu Luna dengan jenaka. Luna hanya diam karena gak punya kekuatan untuk membalas ucapan Hanan. “Hehe gue cuma bercanda ya Lun, jangan dibawa serius.”

“Iya,” kata Luna singkat.

“Eh emangnya temen lo yang namanya Khailil itu gak keberatan kalo kita tebengin?” tanya Gita.

“Nggak lah, dia mah baik hati orangnya jadi santai aja,” balas Hanan.

“Terus kenapa lo bisa sampe ngide nyewa photographer segala? Perasaan kalo kita liburan kemana-mana lo gak pernah sampe segininya,” celetuk Gita lagi.

“Justru karena kita belum pernah nyewa photographer, selagi ada kesempatan ya dimanfaatin dong? Kan lo tau sendiri, Git, diantara kita berempat gak ada yang jago mengabadikan momen. Apalagi lo tuh, disuruh ngefotoin aja gak pernah mau. Yarda juga kalo ngefoto hasilnya jelek semua,” ujar Hanan. “Sebenernya ada Luna sih, but we all knew her current problem, right? Gue gak akan setega itu nyuruh dia jadi tukang poto.”

Luna menimpali, “Kebetulan gue juga lupa bawa kamera.”

“Nah, that's why I asked Khailil. Jadi kemanapun kita pergi, dia bakal selalu ikut buat ngedokumentasiin. Lumayan lah, kita gak perlu lagi ganti-gantian ngefotoin atau minta tolong ke orang lain,” kata Hanan menjelaskan, kemudian ia melambaikan tangan pada sosok lelaki yang berdiri beberapa meter di dekat pintu keluar, “Tuh orangnya.”

Luna otomatis mengarahkan pandangannya pada sosok lelaki yang ditunjuk oleh Hanan. Ia terpaku lama, membayangkan wajah itu tampak sedikit mirip dengan mantan pacarnya yang bernama Sagara. Perbedaannya hanya terletak pada tinggi badan saja.

“Halo, Mba. Saya Khailil,” kata laki-laki bernama Khailil sembari mengulurkan tangan mengajak Luna berkenalan.

“Luna,” gadis itu menyambut jabatan tangan Khailil.

“Salam kenal, Mba Luna,” ujar Khailil, bibirnya melengkung sempurna membentuk sebuah senyum manis bersamaan dengan sepasang mata yang juga ikut tersenyum.

Luna membalas senyum tersebut, “Oh iya salam kenal juga, Khailil.”

Ini mungkin pertama kalinya dalam beberapa minggu belakangan, Luna mengukir senyum manis walaupun masih dalam keadaan patah hati.


14 Januari, Malioboro.

Namanya Khailil Januar Abimanyu.

Biasa dipanggil Khai, meskipun sebenarnya Luna lebih suka memanggil lelaki jangkung dengan wajah mirip kucing itu dengan nama tengahnya; Janu. Namun, lelaki itu pernah bilang di malam pertama kali mereka bertemu di stasiun Jogja, “Panggil Khai aja,” Katanya sih hanya anggota keluarga lelaki itu yang boleh memanggilnya dengan nama “Janu”. Luna mengangguk paham dan gak mau banyak protes, mungkin itu memang sudah jadi aturan di keluarga Khai yang gak boleh dilanggar.

Khai tinggal di Jogjakarta, tepatnya di daerah Kulon Progo. Ia melanjutkan studi di Universitas Gajah Mada dengan jurusan Teknik Mesin. Meskipun hobi fotografi yang ia tekuni saat ini sama sekali gak menunjukkan keterkaitan terhadap jurusan yang tengah ia ambil, yet he still doing it for fun. Seakan fotografi sudah menjadi bagian dari hidupnya yang gak bisa dipisahkan oleh apapun.

“Kalo suka fotografi kenapa gak ambil jurusan itu aja? Setau gue ada tuh di ISI Jogja atau di Surakarta, gak jauh juga kan dari daerah sini?” Luna akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sejak kemarin selalu mengganjal di benak. Ia penasaran dengan alasan Khai memilih mengambil jurusan teknik ketika lelaki itu justru lebih punya potensi di bidang fotografi.

Mereka berdua sedang berada di jalan Malioboro sore ini, sembari menunggu malam tiba sesekali Khai memotret gadis cantik disampingnya. Ketiga teman Luna— Hanan, Gita dan Yarda, tiba-tiba saja pergi entah kemana. Khai tidak bisa mengejar jejak mereka hingga akhirnya ia memilih untuk menemani Luna.

Khai dan Luna mungkin baru saja saling mengenal beberapa hari belakangan, tapi mereka mengobrol dan berinteraksi layaknya dua teman lama yang sudah lama tak berjumpa.

“Sejujurnya saya gak mau ambil jurusan yang sesuai sama hobi saya,” Itu jawaban yang keluar dari mulut Khai. Sukses membuat kernyitan di dahi Luna semakin dalam.

But why?“

“Mungkin saya terlalu negatif thinking dari awal kali ya, karena takut nantinya akan dapat tugas kuliah yang membebani diri kemudian saya jadi gak punya ketertarikan apa-apa sama fotografi kalo saya ambil jurusan sesuai hobi,” jelas Khai. “I wanna challenging myself too buat survive di jurusan Teknik Mesin.”

Perlu beberapa menit bagi Luna untuk memahami alasan Khai. Tak lama kemudian, ia mengangguk mengerti. Jika ditanya dengan pertanyaan yang sama, mungkin Luna juga akan mengeluarkan jawaban serupa.

“Hobi fotografi ini cuma buat selingan aja, semacam refreshing dari tugas gamtek yang banyaknya gak kira-kira,” kata Khai lagi sebelum mengarahkan kameranya ke samping wajah Luna. Ckrek. Suara jepretan kamera terdengar beberapa detik setelahnya.

“Udah, ah. Gue gak suka difoto kalo angle-nya dari samping,” tolak Luna sambil tertawa pelan.

Lho piye toh? Wis ayu iki lho Mba, side profilenya aja udah sebagus ini,” puji Khai.

“Ini lagi muji karena side profile gue emang beneran bagus atau karena gak mau ngebuat gue terlihat pathetic?“

I'll go with the first option, saya kalo muji orang tuh memang karena orang itu pantes dipuji, Mba,” kata Khai menjelaskan. “Is there something wrong with—“

“Iya,” ujar Luna memotong ucapan Khai, “That's why I am here.“

Khai menurunkan kameranya, tanpa sadar ia justru mendekatkan diri ke arah Luna. Khai merasa bahwa perempuan itu sangat butuh didengarkan, atau mungkin saja sedang butuh sandaran?

“Cerita aja, Mba. Saya bisa jaga rahasia kok,” ucap Khai.

“Nggak ada yang perlu dirahasiain sih sebenernya,” Luna tertawa sumbang saat membalas ucapan Khai, “Ya gitu, gue diputusin sama pacar gue dengan alasan dia udah nggak ada rasa lagi. Padahal sebenernya gue tau kalo dia selingkuh soalnya—”

Khai masih diam mendengarkan, menunggu kelanjutan dari ucapan Luna.

“Soalnya dia.... Waktu itu ngasih undangan....” Luna nggak mampu lagi melanjutkan kalimatnya karena tiba-tiba saja dadanya dipenuhi oleh rasa sakit dan sesak. Khai mengerti, ia tidak bertanya lebih lanjut. Lelaki itu justru meminjamkan pundak dan tanpa sadar Luna sudah menitikkan air matanya disana.

“Konon katanya, seseorang harus mengalami patah hati terberat sebelum menemukan orang yang tepat.”

Khai bicara sambil mengusap pelan punggung Luna, berharap melalui cara itu ia bisa menyalurkan sedikit kekuatan pada gadis yang tengah bersedih di pundaknya.

“Gapapa ya, Mba? Mungkin ini cara Tuhan ngasih tau ke Mba kalo mantan Mba yang itu bukan orang yang tepat. Mungkin abis ini Mba baru dipertemukan sama orang yang tepat sama Tuhan,”

Luna diam-diam mengaminkan ucapan Khai.

“Saya tau Mba kuat orangnya. Tapi kalo suatu saat nanti Mba mau nangis buat meluapkan emosi, pundak saya selalu ada buat Mba. Jangan nangis sendirian lagi ya? Kesedihan tuh nggak boleh dipendem, harus diluapkan dan dibagi-bagi kalo kata Ibu saya.”

Luna terkekeh kecil walaupun masih sesenggukkan. “Thank you, by the way. Lain kali jangan panggil gue pake 'Mba'. Luna aja, biar akrab,”

“Waduh, kayaknya nggak bisa Mba, soalnya kan Mba Luna lebih tua setahun dari saya. Disini nggak etis rasanya kalo langsung manggil nama sama orang yang lebih tua,” elak Khai.

“Yaelah, santai aja kali? Nggak usah formal-formal banget lah?”

“Hehee iya tapi nggak bisa, Mba. Saya mau matuhin aturan aja, kalo ketauan Ibu nanti saya digeplak karena udah dianggep gak sopan.”

“Padahal gue nggak keberatan sama sekali loh? Lagian nyokap lo juga gak akan tau kan?”

Khai hanya tersenyum tanpa membalas ucapan tersebut lebih lanjut. Ia mengarahkan kamera dengan arah terbalik hingga lensanya tepat menghadap Luna dan dirinya. “Mba Luna mau mengabadikan momen lagi nggak? Itung-itung buat apresiasi diri karena Mba Luna udah kuat bertahan sampe saat ini?”

“Bahasa lo dangdut banget deh, Kha?”

Khai tertawa, “So, are you in?

Luna mengusap jejak tangisan di kedua pipinya sebelum mengangguk mantap, “Yes,“

Khai lantas mengatur timer kemudian merangkul pundak Luna sebelum menampilkan senyum terbaiknya ke kamera. “1, 2, 3.....”

Ckrek.

Foto mereka berdua abadi di dalam memori kamera Khai.


15 Januari, Pantai Gunung Kidul.

Luna tau, cepat atau lambat dia akan jatuh hati pada lelaki bernama Khai ini. Ia sudah menghabiskan hampir separuh liburannya bersama Khai dibanding dengan ketiga temannya. Entah kenapa, sesuatu dari diri Khai selalu menarik dan membuat magnet tersendiri sehingga Luna betah berlama-lama ada di samping lelaki itu. Mereka selalu bertukar cerita, kadang menyempatkan jalan bersama di sepanjang jalan Malioboro, bahkan beberapa kali makan berdua di beberapa warung kaki lima. Mustahil jika Luna tidak memendam rasa apa-apa.

Ditambah dengan keadaan hatinya yang sedang kosong dan tidak disinggahi siapa-siapa, sangat mudah bagi Khai untuk masuk dan singgah disana.

“Belum mandi ya?” tanya Luna pada Khai, terlihat jelas dari wajah lelaki itu seperti baru saja bangun dari tidur. Luna jadi merasa nggak enak karena ia yang mengajak Khai ke pantai sepagi ini sampai lelaki itu mungkin nggak punya waktu untuk mandi lebih dulu.

“Iya, saya kalo ke pantai pagi-pagi emang nggak pernah mandi. Tapi saya udah sikat gigi kok tenang aja,” ujar Khai, agak panik sedikit. Ekspresi yang dibuat oleh Khai selalu saja sukses membuat Luna tertawa.

I have something for you,” Luna mengambil sesuatu dari dalam tas kemudian memberinya pada Khai, “Selamat ulang tahun, Khai. Makasih udah lahir ke bumi.”

Khai diam selama beberapa menit, mengerjapkan mata lalu menatap Luna dengan bibir terbuka, “Mba Luna tau darimana?”

“Hanan yang ngasih tau kalo hari ini lo ulang tahun,” ujar Luna. “Itu kamera analog sama roll filmnya, kebetulan gue liat itu waktu lagi ke Pasar Senthir. Terus gue keingetan lo jadi gue beli deh. Anggep aja ini kado sekaligus ucapan terima kasih karena lo udah nemenin gue selama liburan disini. Gue jadi nggak ngerasa sedih lagi sekarang.”

“Mba... Aduh... Saya.....” Khai mendadak gagap, bingung mau bicara apa. “Makasih banyak, Mba Luna. Sebenernya Mba nggak perlu repot—”

“Gue nggak merasa direpotin, Kha,” kata Luna.

Khai tanpa sadar menggaruk tengkuk, merasa salah tingkah. Ia membolak-balikkan kamera analog di tangannya dengan senyum manis kemudian memasukkan roll film ke dalamnya. Satu tangan mengangkat kamera sementara tangan yang lain menyangga tubuh karena ia sedang duduk di antara ribuan pasir pantai.

“Kakek saya pernah bilang, objek pertama yang harus dipotret sama kamera analog harus jadi objek yang paling indah,” ujar Khai sebelum mengarahkan kamera pada wajah cantik Luna.

“Terus kenapa kameranya harus ngarah ke muka gue?”

“Soalnya cuma itu objek paling indah di mata saya sekarang,” ujar Khai lagi.

“Aduh Kha, dangdut banget lo tuh,” Luna sampai tertawa terpingkal-pingka. Di saat seperti itulah Khai memulai aksi, ia mengambil kesempatan untuk mengabadikan momen berharga yang ada di depan matanya ini.

“Saya juga punya sesuatu buat Mba Luna,” kata Khai lalu memberikan sebuah album kecil. Di dalamnya ada beberapa foto Luna yang sudah dicetak dan dihias sedemikian rupa hingga tampilannya jadi lebih menarik. “Beberapa hari lagi kan Mba pulang ke Jakarta, jadi saya mau kasih kenang-kenangan. Biar Mba Luna inget sama Jogja terus dan nyempetin kesini kalo nanti mau liburan lagi.”

Sepasang mata Luna berbinar melihat pemberian dari Khai, kedua pipi gadis ini bahkan memerah karena tersipu. “Khai ini bagus banget? Thank you yaaa!”

Di saat Luna asik melihat berbagai foto dirinya dalam album tersebut, Khai berkali-kali menggaruk tengkuk sambil mengedarkan pandangan ke arah lain.

Do you wanna be mine?” Luna membaca rentetan kata yang tertulis dalam halaman terakhir pada album tersebut, mungkin saja itu ditulis oleh Khai sendiri. “Are you being serious?”

“Nggak usah dijawab gapapa, Mba. Itu saya bikinnya waktu malem-malem kayaknya sambil ngelindur,” elak Khai.

Khai pikir Luna akan marah mengetahui fakta bahwa sejak awal mereka berjumpa, Khai sudah memendam rasa. Namun ternyata, Luna justru memberikan respon yang tidak terduga.

I'm already yours loh, Khai.”

“Gimana, Mba?”

I'm already yours.”

“Semangat besok terakhir kita ospek!” seru Erisa sambil satu tangannya merangkul Karin. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam, matahari pun hampir terbenam di ufuk barat. Sembari berjalan keluar pelataran kampus, Karin mengecek ponsel yang lowbat. DM yang terakhir ia kirim belum dibaca sama Kemal.

“Pulang sama siapa, Rin?”

“Biasa, sama Tante Joya. Lo sendiri?”

“Gue bareng Leon. Kali-kali lo pulang sama cowok juga dong!” kata Erisa.

Karin ketawa, “Gak punya cowok.”

“Yaelah, Rin. Harusnya lo tuh tinggal tunjuk aja mau pulang sama cowok yang mana,” celetuk Erisa, mengingat ada begitu banyak cowok yang naksir Karin dari awal gadis itu menampakkan diri di kampus tapi belum ada satu pun yang menarik perhatiannya.

Atau sebenernya sih udah ada, namun Karin masih denying her feeling.

Karin otomatis memelankan langkah saat melihat Kemal jalan berdua sama salah satu perempuan. Sebenernya gak berdua, tapi berlima. Namun posisi Kemal dan perempuan ini terpisah berdua di belakang. Kalau dilihat dari pakaian dan name tag-nya sih masih seangkatan sama Karin alias masih maba, begitu dilihat lebih jelas tertulis nama Naia di atas name tag perempuan itu.

Raut wajah Karin langsung murung, persis kayak abis patah hati meskipun dia bukan siapa-siapanya Kemal. Tapi.... Ah ngerti kan perasaan cewek gimana.

Kemal dan Naia tampak asik berbincang dan bercanda di ujung sana seakan dunia cuma milik mereka berdua. Karin dari jarak jauh memperhatikan sambil membatin dalam hati,

How to be Naia?


“Belum pulang, Rin?”

Karin mendongak, agak kaget melihat motor Kemal tiba-tiba berhenti di deket tempatnya duduk. Lantas Kemal turun dari motor demi menghampiri Karin.

“Lagi nunggu Tante ngejemput,” jawab Karin.

“Masih lama jemputnya? Mau gue tungguin?”

“Gak usah gapapa, Kemal pulang duluan aja. Kan gak enak dari tadi pagi ngerepotin Kemal mulu.”

“Santai aja kali, Rin,” sahut Kemal, “Ni udah mau maghrib, masih lama gak kira-kira? Kalo masih lama mending pulang bareng gue aja. Malang kalo malem serem dah, kerasnya sama kayak Jakarta.”

Karin diam, bertepatan dengan masuknya notifikasi iMess ke ponselnya dari Tante Joya. Wanita itu bilang belum bisa menjemput Karin dalam waktu dekat.

“Jadi gimana?” tanya Kemal lagi, memastikan.

Pada akhirnya Karin mengiyakan ajakan Kemal. Cuma ada satu masalah disini; Karin pake rok pendek dan Kemal bawa motor trail yang biasa dipake buat touring itu. Karin jadi ragu mau nebeng.

Seakan mengerti isi pikiran Karin, Kemal lantas mengeluarkan celana training dari dalem tas. “Nih, pake aja training gue. Masih bersih, belum gue pake kok hari ini.”

Alhasil gadis itu beneran make celana training Kemal, tentu saja gantinya di toilet karena gak mungkin kan kalo makenya di pinggir jalan. Sebelum naik ke atas jok motor, Kemal meraih pergelangan tangan Karin. Otomatis gadis itu mengalihkan atensinya ke Kemal.

“Pake jaket dulu, Malang dingin kalo malem,” kata Kemal, melepas jaket yang melekat di tubuhnya kemudian memasangkannya di badan Karin. Gak berhenti sampai situ, Kemal bahkan melepas helmnya untuk ia berikan kepada gadis itu.

“Loh kok?”

Safety first,” ujar Kemal.

“Terus Kemal gimana?”

“Gak gimana-gimana, soalnya gue cuma bawa satu. Yang penting lo pake aja dulu biar tetep aman pas naik motornya. Yuk naik, keburu malem.”

“Kemal—” Karin belum sempat melanjutkan kata-katanya begitu melihat Kemal menurunkan pijakan motor, seakan menyuruh Karin untuk segera naik. Karin akhirnya menurut. “Kok gak jalan?” tanyanya saat motor yang ia tumpangi itu gak menunjukkan tanda-tanda jalan.

Pertanyaan Karin tadi sukses menghadirkan tawa dari mulut Kemal. “Motornya bilang belum mau jalan kalo penumpangnya gak mau pegangan.”

Karin menghela napas samar, emang sih kalo naik motor trail gini harus pegangan sama yang mengendarai motor supaya aman sampai tujuan tapi Karin terlanjur malu dan gak enakan. Sampai akhirnya Kemal yang ambil start duluan, lelaki itu meraih kedua tangan Karin dan melingkarkannya di atas perut.

Are you ready?” tanya Kemal sebelum menyalakan mesin motor.

Karin gak kuasa menahan senyum, “Yes, more than ready.”

Let's go go go!” seru Kemal. Karin spontan ketawa di belakang jok motor.

Bener yang dikatakan Kemal, cuaca di Malang terasa sangat dingin ketika malam tiba. Tanpa sadar Karin mengeratkan pegangannya dan Kemal merasa seperti dipeluk dengan hangat dari belakang. Selama perjalanan mereka selalu bertukar cerita, atau lebih tepatnya bertukar bahan gibah. Dari yang ngomongin panitia ospek bau ketek sampe ngobrolin cita-cita waktu masih kecil.

“Dulu cita-cita gue pengen jadi penjaga kebun binatang,” ujar Kemal, memulai ceritanya kembali. Karin di belakang langsung ketawa kenceng.

“Hahahaha baru kali ini nemuin orang yang cita-citanya mau jadi zookeeper. Kok bisa sih?” tanya Karin.

“Gak tau dah, anak kecil dulu kan masih polos ya. Karena dari kecil gue suka melihara binatang apa aja, jadi kepikiran buat buka kebun binatang sendiri di rumah terus gue yang jagain mereka.”

Karin ketawa lagi. Kemal ini bener-bener out of the box.

“Kalo Karin sendiri gimana?” tanya Kemal, kaca spionnya sengaja diarahkan ke Karin supaya ia bisa melihat raut wajah gadis itu ketika bercerita.

“Mm... kayaknya dulu gue pernah punya cita-cita mau jadi pramugari. Tapi waktu sering denger berita ada pesawat yang jatuh, gue gak mau lagi deh jadi pramugari soalnya takut.”

“Yah padahal udah bagus tuh punya cita-cita jadi pramugari, tinggal masuk sekolah penerbangan aja.”

“Sayangnya udah gak minat lagi sekarang,” sahut Karin. “Lagian kalo waktu itu beneran masuk sana, nanti kita gak akan ketemu dong?”

“Iya juga ya?” kata Kemal. “Bagus deh, emang bener gak usah masuk sekolah penerbangan mending kuliah aja di Unbraw, meskipun stres dikit tapi kan ada gue yang bakal jadi obat penghilang stres.”

Untuk yang kesekian kalinya dalam malam itu, Karin tertawa lagi di atas jok motor hingga menarik atensi dari para pengendara jalan yang lain. Kemal tersenyum dari depan, memperhatikan tawa indah milik Karin dalam diam.

“Karin udah ada pacar?” Pertanyaan itu sukses keluar dari mulut Kemal tanpa rem. Sedetik kemudian ia merutuki diri karena terkesan terlalu kepo.

Karin menggeleng, “Belum ada. Kalo Kemal sendiri gimana? Udah punya pacar?”

“Kebetulan belum punya juga,” jawab Kemal sambil tertawa canggung. Setelahnya atmosfer diantara mereka berdua makin awkward lagi.

Kemal tadinya udah mau nyeletuk pake nada bercanda, “Kalo sama-sama belum punya pacar, kenapa kita gak pacaran aja?” Tapi ia buru-buru mengurungkan niat karena gak mau dicap aneh. Mereka baru aja kenal, gak etis rasanya kalo langsung ngajak pacaran.

Kemal gak tau, kalau sebenernya Karin juga memikirkan hal yang sama.