n

Sembari mengecek penampilan di depan kaca lemari, Naia lantas mengoles sedikit make up lagi di wajahnya. Ia juga bolak-balik memperhatikan dress yang dipakainya hari ini, dress putih pilihan Bundanya Naka.

Jam masih menunjukkan pukul empat sore, setengah jam lagi Naka bilang akan menjemput Naia. Dan jantung Naia sudah berdegup kencang sejak satu jam yang lalu.

Tak berapa lama kemudian, mobil Naka sampai di depan rumah Naia. Gadis itu mengintip dari jendela kamar atas, tampak Naka sedang berbincang dengan Papa di luar rumah sana.

Calm down, Nai. Lo ini cuma mau ketemu keluarga besarnya Naka, bukan mau nikah,” kata Naia, bermonolog sendiri.

Suara Papa terdengar dari lantai bawah, menyuruh Naia untuk segera turun. Alhasil gadis itu melangkahkan kakinya dengan ragu turun menemui Naka yang sudah menunggu di luar.

“Sebelum jam sembilan ya, Ka,” ujar Papa mengingatkan Naka untuk memulangkan anaknya tepat dengan waktu yang diminta.

“Siap, Om. Naia bakal saya pulangin jam setengah sembilan, Om gak perlu khawatir.”

Naia mendengus pelan, “Kok jam sembilan sih? Naikin dikit kek Pa jadi jam sepuluh!”

Papa mencibir, “Gak usah ngelunjak kamu.”

Naka tertawa melihat interaksi antara Naia dengan Papa yang bisa bercanda sebebas itu. Karena jujur, Naka belum pernah bertindak demikian di depan Ayahnya sendiri. Meski Ayah terhitung lumayan sering melempar gurauan, Naka gak pernah membalasnya dengan gurauan lagi.

Ayah termasuk orang dengan kepribadian yang keras dan Naka jarang sekali bertemu dengan sosoknya di rumah sejak masih kecil. Mungkin itulah alasan mengapa ia dan Ayah masih terbilang kurang dekat sampai saat ini.

“Yuk, Nai?” ajak Naka sambil mengulurkan satu tangannya mengajak Naia untuk bergandengan.

Naia tersenyum lebar sembari menyambut uluran tangan itu. Kemudian ia berbalik, melambaikan tangan pada Papa.

See you, Pa. Naia pacaran dulu ya!”


Sesampainya di kediaman rumah Naka, Naia gak langsung melepas seatbelt dan turun dari mobil. Ia diam dulu selama beberapa saat di kursi penumpang, berusaha mencerna apa saja yang telah terjadi beberapa hari belakangan sampai ia ada di titik ini. Titik dimana ia bisa menjalin hubungan dengan seorang Narendra Rakabumi.

“Ayo turun,” kata Naka setelah melepas seatbeltnya dan seatbelt Naia.

“Bentar, Ka. Aku lagi mikir,” ujar Naia.

Naka mengangkat satu alisnya, “Mikirin apa sih?”

“Kok bisa ya Ka kita sampe pacaran begini? Padahal kan dulunya kita gak saling kenal.”

“Takdir, Nai,” jawab Naka sambil menuntun gadis itu turun dari mobil lantas menggandeng tangannya erat-erat.

Naia menarik ujung jas yang malam itu dikenakan Naka, “Takut....”

“Kenapa lagi?”

“Aku takut keluarga kamu gak menyambut aku sehangat Bunda,”

Naka menghentikan langkah, otomatis membuat Naia yang berada di belakang melakukan hal yang sama. Sembari terus memusatkan tatapannya pada Naia, Naka menangkup kedua pipi gadis itu.

“Gak perlu overthinking sampe segininya, Nai. Kan ada aku, jadi jangan takut.”

Naia menghela napas, “Iyaa.”

Act normal, santai aja. Oke sayang?”

“Oke.”

Perayaan anniversary pernikahan itu dimulai pukul setengah tujuh malam. Ayah dan Bunda tampak mesra di tengah spotlight panggung kecil yang sudah disediakan oleh keluarga besar. Meskipun penuaan hampir memakan sebagian dari umur mereka berdua, tetap saja keharmonisan dan keromantisan itu terpancar jelas terlihat dari senyum bahagia yang mereka tampilkan pada malam hari yang indah itu.

Naia terkesima memandang kedua orang tua Naka di tengah sana. Gelagat mereka tak kalah romantis seperti pasangan goals yang biasa ia lihat di Instagram atau platform sosial media lain, bedanya kini Naia bisa menyaksikan hal itu secara langsung. Dan rasanya, diri Naia seperti ikut ditarik untuk merasakan bahagia yang sama.

Naka menunjuk ke tempat dimana Ayah dan Bundanya menjadi pusat perhatian, “Liat deh, beberapa tahun lagi kita yang ada disana.”

Naia lantas menoleh pada Naka, meminta penjelasan dari perkataannya barusan.

“Ini udah jadi tradisi di keluargaku, Nai. Tiap ada pasangan yang lagi ngerayain hari pernikahannya, pasti dibikin acara persis kayak gini,” kata Naka menjelaskan, “Mungkin beberapa tahun lagi kita bisa nyusul?”

Naia spontan terkekeh, “Masih lama kali.”

Setelah acara penyambutan dan pemberian selamat selesai, mereka semua dipersilahkan untuk menikmati hidangan makan malam di suatu meja besar yang telah disediakan.

Naia memilih tempat duduk paling ujung, sengaja menghindari kerumunan keluarga besar Naka yang belum ia kenal. Naka duduk disamping Naia sementara kedua orang tua Naka duduk tepat dihadapannya.

“Udah berapa lama kalian pacaran?” tanya Ayahnya Naka.

Naia yang masih sibuk menyicipi hidangan lantas menyenggol lengan Naka, menyuruh lelaki itu untuk menjawab pertanyaan.

“Sebulan lebih,” jawab Naka singkat.

Ayah mengangguk paham, “Sudah kenalan kamu sama orang tua Naia?”

“Udah, Yah.”

Naia bisa merasakan atmosfer canggung diantara hubungan ayah dan anak itu. Naka sempat bilang bahwa ini pertama kalinya ia bertemu dengan Ayah setelah bertahun-tahun Ayahnya itu sibuk melakukan penerbangan ke berbagai negara dan hampir gak punya akses bebas untuk pulang ke rumah. Makanya intensitas mereka berdua untuk bertemu sangat jarang sekali.

“Oke, jadi kapan kalian ada rencana mau mengadakan acara tunangan?”

Pertanyaan yang terlontar dari Ayah itu mampu membuat Naia keselek minumannya sendiri. Naia lantas menoleh pada Naka, menunggu jawaban lelaki itu.

“Secepatnya, Yah.”

Naia: ka jangan berantem ya Naia: apapun alesannya jgn berantem

Pesan itu masuk ke ponsel Naka setelah ia membanting setirnya ke kiri melewati sebuah jalanan sepi. Ia sengaja melambatkan laju mobil sambil satu tangannya membalas pesan dari Naia hingga kini fokusnya terbagi menjadi dua. Jika Bunda tau anaknya berkendara seperti ini, mungkin Naka akan berakhir dimarahi.

Sesuatu yang keras menghantam kaca mobil Naka begitu lelaki itu menaruh ponselnya di samping jok kemudi. Terpaksa ia menghentikan mobilnya di tengah jalan dan harus menghadapi kenyataan pahit bahwa dirinya sedang dikepung oleh orang yang belakangan ini sering membuat onar.

Ada gerombolan Reksa di depan sana, sekitar tujuh orang, berjajar menghalangi mobil Naka dengan motor mereka masing-masing. Reksa berdiri di barisan paling depan dengan dagu terangkat seperti siap menantang Naka.

“Ah, shit,” umpat Naka sambil menunduk.

Ia tau hari ini akan datang, hari dimana Reksa akan membalaskan dendam. Namun, Naka gak menyangka Reksa akan membawa bekingan sebanyak ini. Dan kenyataan bahwa Naka hanya membawa dirinya sendiri semakin membuat lelaki itu gak bisa banyak berkutik.

Jika ia memaksakan diri keluar melawan gerombolan itu satu per satu, tindakannya akan terbilang percuma karena ia sudah pasti kalah hanya dalam hitungan detik.

“Narendra, time to get out of your car,” teriak Reksa.

Semakin dekat langkah Reksa mendekati mobil Naka, maka semakin sulit otak Naka untuk berpikir jernih. Memori masa lalu kelam itu kembali hadir merasuki benaknya tanpa permisi; kelamnya hari-hari dimana ia melihat Nasa diperlakukan seperti sampah sesama sekolah, dicaci setiap hari, dilempari makian, dijadikan bahan bulian.

Semuanya hadir dalam satu hantaman tanpa henti, tanpa jeda, tanpa membiarkan Naka untuk menenangkan diri barang sedetik saja.

Kalau bukan karena Reksa yang memulai semuanya, mungkin Nasa gak akan jadi sasaran pembulian saat itu.

“Eh, ada si cacat dateng bareng kembarannya tuh!”

“Yah, anak cacat mah gak cocok sekolah disini, ini kan sekolah khusus anak-anak normal.”

“Namira cocoknya masuk ke SLB sih, emangnya lo gak mau nemenin dia sekalian Nar di SLB? Kan biar kompak.”

“Naren, kembaran lo berisik banget di kelas. Bawa pulang gih sana.”

“Lagian sekolah sebagus ini kok mau nerima orang cacat sih?”

“Gak mau pindah sekolah aja Nar bareng kembaran lo yang namanya Nami itu? Sori, tapi gue takut ketularan jadi cacat soalnya.”

Naka ingat bagaimana semua perkataan jahat itu masuk ke telinga dan tertanam di lubuk hatinya yang paling dalam. Jika Naka saja bisa merasa sesakit itu mendengar semuanya, bagaimana dengan Nasa yang setiap hari menjadi korban pembulian? Naka gak bisa membayangkan betapa sedih kembarannya itu menerima semua perlakuan tidak adil semasa sekolah.

Memangnya apa salah gadis kecil itu? Salahkah ia terlahir tidak seperti kebanyakan manusia lain? Salahkah ia memiliki banyak kekurangan di dalam dirinya sendiri? Atau salahkah ia terlahir di bumi ini?

“Naka, jangan dekat-dekat Nasa. Nanti Naka gak bisa punya teman kayak Nasa.”

“Naka, kita kalo di sekolah pura-pura gak kenal aja. Biar Naka gak ikutan dibuli.”

Suara itu lagi-lagi terngiang di benak Naka. Berdengung nyaring di telinganya seperti suara dari kaset yang sengaja diputar berkali-kali.

“Naka, jangan berantem lagi ya,” lirih perkataan dari Nasa kembali terdengar di samping jok kemudi. Naka menoleh perlahan, ia seperti bisa melihat bayangan semu kembarannya sendiri sedang duduk tenang disana. “Jangan berantem sama Reksa,”

He hurted us.

Naka bahkan bisa merasakan tangan kecil Nasa terulur menepuk-nepuk pundak kirinya, mungkin gadis kecil itu sedang berusaha meredamkan amarah Naka yang hampir meluap. Sama seperti yang selalu dilakukannya beberapa tahun lalu ketika Naka sudah gak bisa lagi mengontrol emosi dan suka bertindak di luar nalar, Nasa akan menjadi orang pertama yang menenangkan Naka.

“Nasa gak mau ngeliat Naka berantem lagi. Udah, ya?”

Anggap saja Naka gila karena ia benar-benar menganggap bahwa bayangan Nasa itu nyata adanya. Padahal yang sebenarnya terjadi; Naka gak lebih dari sekedar memanifestasikan halusinasinya.

Ketika kesadaran kembali membawa Naka ke realita, saat itu juga lengan Naka ditarik paksa keluar dari mobil oleh Reksa.

“Narendra, I've been waited so long for this,” kata Reksa sambil mengangkat kerah baju Naka tinggi-tinggi. “Lo harus tau gimana rasanya koma kayak gue sepuluh tahun lalu kan? Biar sama-sama impas.”

Naka mendengus pelan, “Gak usah banyak basa-basi. Kalo mau ngehajar gue sekarang, hajar aja.”

That's why I am here,” balas Reksa sambil menampilkan senyum miring. Sebuah senyum yang sampai saat ini masih Naka benci mati-matian. Naka bahkan berharap suatu hari ia bisa merobek bibir kotor itu hingga Reksa gak mampu bicara lagi.

Dan tepat saat Naka memejamkan mata, Reksa sudah meninggalkan jejak lebam di hampir seluruh tubuh Naka. Tinjuan serta pukulan itu datang bertubi-tubi tanpa jeda. Membuat Naka gak hanya tersungkur di jalanan beraspal, tapi juga membuatnya hampir kesulitan bernapas.

Dibalik semua rasa sakit yang Naka terima hari ini, ada sejuta dendam yang masih tertanam di dalam sanubari. Meskipun rasa ingin melampiaskan seluruh dendamnya sangat besar, kata-kata dari Naia dan Nasa berhasil membuat Naka hanya diam tanpa melakukan perlawanan apapun.

Apapun alesannya, jangan berantem, Ka.

Nasa gak mau liat Naka berantem.

Alhasil hari itu, Naka membiarkan dirinya menjadi samsak Reksa hingga tubuhnya benar-benar lemas tidak berdaya.


Sudah gak terhitung berapa kali Naia tampak mondar-mandir di kamarnya sendiri. Sambil menyumpal hidungnya menggunakan tisu, Naia mendengus karena darah dari hidungnya gak berhenti mengalir sejak tadi. Gadis itu pun gak tau kenapa ia bisa mimisan semendadak ini.

“Sekala pasti boong,” gumam Naia ketika melihat DM-nya gak dibalas lagi oleh Sekala, oknum yang meramal tentang Naka. “Fix dia boong! Gue juga gak bakal percaya sama ramal—”

Ucapan Naia terpotong saat mendengar pintu rumahnya diketuk tiba-tiba. Naia diam sejenak sebelum melangkahkan kaki ke arah pintu. Begitu dibuka, tampak sosok Naka berdiri disana sembari satu tangannya memegangi bagian perut. Wajah lelaki itu dipenuhi lebam, ada darah mengalir dari hidung dan di sudut bibirnya yang mulai mengering.

“NAKA???!” seru Naia panik.

Naka mengulas senyum, “Hai....”

Kekhawatiran jelas sangat kentara di wajah Naia, ia langsung menangkup kedua pipi Naka. Jemarinya menghapus bekas darah di bibir Naka secara perlahan.

“Kamu kenapa bisa begini.... Jujur sama aku, kamu abis berantem sama siapa?” tanya Naia pelan.

Bukannya menjawab, Naka justru membawa Naia ke dalam dekapan hangatnya. Memeluk gadis itu erat-erat seakan Naia bisa hilang kapan saja jika Naka tidak memeluknya seerat ini.

“Ka,” panggil Naia.

“Nai,” Naka memanggil nama Naia, membuat Naia mendongakkan kepala hanya untuk menatap Naka lebih jelas. “I'm glad for having you.”

Lagi dan lagi, Naka selalu punya cara untuk mengalihkan topik.

Me too,” sahut Naia, “Sekarang jawab pertanyaan aku yang tadi, kamu abis berantem sama siapa sampe bisa lebam-lebam kayak gini?”

Naka tertawa pelan, “Gak berantem.”

“Bohong kamu!” sentak Naia, “Kalo gak berantem terus kenapa ini bisa—”

“Marahnya bisa ditunda gak? Obatin aku dulu,” pinta Naka.

Naia menghela napas, akhirnya menuntun Naka perlahan untuk duduk di atas sofa. Setelah Naka duduk disana, Naia berjalan ke dapur mencari kotak P3K kemudian mengobati semua luka lebam yang ada di wajah dan tubuh Naka sembari mati-matian menahan tangis.

“Kok nangis sih?” tanya lelaki itu.

“Lagian kamu tuh kenapa hobi banget bikin khawatir? Emangnya kamu pikir enak apa dibuat khawatir kayak gini? Enggak tau!” sentak Naia.

“Ya, namanya juga lagi apes, Nai.”

“Beneran apes atau kamu habis berantem??”

Naka menepuk puncak kepala Naia, “Kan aku udah iyain permintaan kamu buat gak berantem lagi. Ini emang pure lagi apes aja.”

Meski gak begitu percaya dengan perkataan Naka, Naia tetap mengangguk sebagai tanda bahwa ia percaya dengan lelaki itu.

The important thing is,” Naka mengelus punggung tangan Naia sembari melempar senyum tipis ke arah gadis itu, “I am still alive.”

Naka berkata begitu karena ia sendiri sempat gak yakin masih bisa bernapas atau gak setelah tadi dihajar abis-abisan. Beruntung sekali Tuhan masih memberikan kesempatan bagi lelaki itu untuk tetap hidup.

Sementara Naia menunduk, diam-diam menghapus air matanya yang jatuh ke pipi.

And know that you are here beside me, makin ngebuat jiwa gue jadi makin hidup. Soalnya dulu jiwa ini sempet mati bertahun-tahun. Makasih ya, Nai. Makasih banyak.”

Naka tertawa lagi, padahal gak ada yang lucu dari percakapan mereka berdua di sore hari itu. Satu tangan Naka kini berada di pipi Naia, mengelusnya secara perlahan merasakan betapa halus pipi itu bersentuhan dengan jari-jemarinya.

“Naia, can I hug you again?”

You can hug me anytime.”

And from that little accident, if Naka was in pain, then Naia comes as a cure for him.

Tepat di bawah pepohonan akasia, Naia duduk seorang diri sambil memejamkan mata. Menikmati alunan lagu yang terputar dari playlist di ponsel sembari menunggu Naka. Lelaki itu bilang ingin bertemu di sekitar pelataran kampus saat sore hari tiba, maka disinilah Naia berada.

To: Kian

lo bener ki, gue udah gak ada rasa sama kemal. gue beneran berpaling ke naka. thanks udah nyadarin gue.

Pesan itu dikirim oleh Naia ke nomor Kian, udah dari setengah jam yang lalu tapi belum juga mendapat balasan. Naia mengerti Kian sibuk, tapi ia gak menyangka kalo Kian bisa se-slow respond ini.

Sinar mentari menembus daun pepohonan kala Naia membuka kedua mata, mencari sosok yang sampai saat ini tak kunjung datang. Begitu Naia beranjak bangun dari bangku, Naka tiba-tiba saja muncul di hadapannya.

“Ah kaget!” seru Naia, reflek terduduk kembali.

Naka menghembuskan napas pelan sambil mengulurkan tangan, membantu Naia berdiri. Dengan senang hati Naia menyambut uluran tangan itu. Namun, keliatannya ada yang salah disini.

Naka gak kunjung melepas tautan tangan mereka.

“Ka,” tegur Naia pelan.

Let me straight to the point,” kata Naka sambil menatap jari jemari Naia lekat-lekat. Entah apa yang dilihatnya disana. Naia bahkan gak tau apa yang menarik dari jemari lentik yang kukunya bahkan belum sempat dipotong dari seminggu yang lalu.

Dan yang paling aneh disini, Naka memperhatikan jemari Naia seperti ada sihir yang mengontrol lelaki itu untuk bertindak demikian.

Kemudian Naka membawa telapak tangan Naia menuju dadanya. Membiarkan gadis itu merasakan bagaimana jantung Naka berdetak kencang di dalam sana. “This is my heartbeat everytime I see your existence. I don't know why it always goes like this.”

Naia tertegun dalam diam, ternyata bukan cuma dia yang merasakan hal ini. Telapak tangan kirinya jadi kaku saat bersentuhan dengan kemeja Naka. Disaat yang sama, punggung tangan Naia dielus dengan lembut seolah itu adalah benda yang bisa rapuh kapan saja.

“Gue gak tau kenapa tiap liat eksistensi lo rasanya udah bahagia. Padahal lo cuma diem, berdiri disini, atau biasanya lagi duduk sambil dengerin lagu, tapi gue bahagia. Mungkin karena gue tau lo hidup, lo ada di bumi ini, lo masih bisa gue tatap pake kedua mata gue dan masih bisa gue sentuh. And I feel very blessed because of that.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Naia. Bahkan untuk menggerakkan bibir aja, Naia gak bisa.

“Di hari pertama kali gue liat lo, gue langsung inget sama Nasa. Kalian berdua mirip, bahkan waktu gue ketemu lagi sama lo di toko bunga, gue bisa tau lo suka bunga anyelir lewat tatapan mata lo,” kata Naka lagi, kini ia berhenti mengelus punggung tangan Naia. “Itu tatapan yang sama tiap gue bawain bunga anyelir buat Nasa waktu dia masih hidup.”

Naia beralih pandang saat Naka mulai mendekat, wajah mereka mungkin hanya berjarak beberapa senti meter. Naka jelas menunduk sedikit demi mensejajarkan tingginya dengan tinggi Naia.

“Karena alesan itu juga, gue jadi sering merhatiin lo diem-diem, tanpa sadar kalo ternyata selama ini gue udah mendem rasa suka. Atau..... Jatuh cinta?”

Ada senyum yang terulas sempurna begitu Naka menjauhkan wajahnya dari hadapan Naia. Tangan gadis itu sudah tak lagi Naka genggam.

Naia menggigit bibir sembari menahan gugup, meski begitu ia berharap waktu berhenti barang sedetik aja. Ia ingin melihat senyum Naka untuk waktu yang lebih lama.

And sorry, Nai. I am sorry for loving you.”

Naia terkejut, “Kenapa minta maaf?”

“Karena gue tau perempuan yang gue cinta, sukanya sama cowok lain?” balas Naka. “Well, as long as you are happy, then I'm happy for you too.”

Naia benar-benar gak tau harus menjawab apa. Ingin rasanya bilang bahwa ia juga punya rasa yang sama, tapi lidahnya kelu seakan-akan dibekukan oleh waktu.

Setelah mengucap beberapa kalimat yang sukses membuat jantung Naia hampir jatuh ke perut, Naka mengusak rambut Naia perlahan lalu pergi dari hadapan Naia seolah ia gak pernah melakukan apa-apa barusan.

Naia meneguk ludah, memberanikan diri berseru dari tempatnya berdiri. “Lo gak mau ngasih kesempatan buat gue ngomong?”

Langkah kaki Naka berhenti, ia menoleh ke belakang sambil menunggu Naia bicara lagi.

“Gue gak suka sama cowok lain, gue udah gak suka Kemal, gue gak suka Kian, gue sukanya sama lo.”

“Apa? Coba ngomong lagi, gak kedengeran,” sahut Naka.

“Gue suka sama lo,” kata Naia, dengan nada suara dipelankan.

Naka iseng menepuk tukang bakso yang berdiri di sekitar sana, “Bang, denger gak itu cewek barusan ngomong apa?”

“Duh, ra krungu o, Mas. Suara Mba'e terlalu pelan,” jawab tukang bakso itu sambil cekikikan. (Duh, gak kedengeran, Mas.)

“Tuh, Nai. Abangnya aja bilang gak denger, apalagi gue,” seru Naka sembari ikut tertawa juga.

Ngeselin banget tuh orang?? batin Naia. Gadis itu lantas melangkah menuju tempat Naka berdiri saat ini kemudian berjinjit dan berteriak tepat di telinga lelaki itu.

“Narendra Rakabumi, gue suka sama lo. Denger gak!!!” seru Naia.

Naka tertawa puas sambil menjauhkan telinganya dari jangkauan Naia. “Iya denger,” katanya setelah tawa itu reda.

“Yaudah, jangan ngeselin jadi cowok!” seru Naia lagi, masih keliatan jengkel jika dilihat dari raut wajahnya. “Terus sekarang gimana?”

“Ya gak gimana-gimana,” balas Naka.

Naia mengernyit bingung, “Kan lo bilang suka sama gue dan gue juga suka sama lo, masa kita mau gini-gini aja? Gak mau pacaran gitu?”

Naka tertawa lagi, kali ini tawanya lebih kencang dari yang tadi sampai tukang bakso yang mangkal geleng-geleng kepala mendengar tawa lelaki itu.

“Eh kok ketawa?”

“Lucu aja, gue niatnya kan cuma mau confess. Bukan ngajak pacaran,” kata Naka.

Kalimat yang keluar dari mulut Naka barusan sukses membuat Naia mati kutu sampai gadis itu harus menahan malu dengan menutupi seluruh wajah. Bawa gue ke pluto sekarang! batin Naia.

Lebih malu lagi saat abang tukang bakso yang masih mangkal juga ikutan tertawa. Sama seperti Naka.

“Ealah, tak kira tadi bakal jadi. Padahal saya udah nyiapin dua mangkok bakso gratis kalo Mas dan Mba beneran resmi pacaran hari ini,” komentar si abang.

Naka mengangkat alis, memikirkan kesempatan emas itu baik-baik di dalam otaknya. Lantas ia rangkul pundak Naia sambil satu tangan kirinya yang bebas menepuk puncak kepala gadis itu.

“Beneran pacaran kok ini, Bang. Berarti baksonya gratis ya?” sahut Naka.

“Loh tadi kata Masnya mau confess tok?”

“Barusan aja saya berubah pikiran.”

Naia mau marah, ia merasa perasaannya baru aja dipermainkan. Ini apa-apaan sih???!

“Oalah... Yowes, tak bikinin nih. Spesial buat yang hari ini resmi pacaran,” ujar tukang bakso itu lagi. “Sini duduk.”

Naka menoleh pada Naia, memberikan senyum terbaiknya hingga kedua mata itu melengkung persis seperti bulan sabit. “Yuk, sayang.”

Anjing, hidup gue beneran ada di puncak komedi, batin Naia dalam hati.


The Butterfly Effect, pernah denger gak Nai?”

Naka angkat bicara setelah suasana dalam mobil diselimuti keheningan petang yang cukup lama. Gak ada jawaban yang keluar dari mulut Naia. Saat menoleh, Naka mendapati gadis itu sibuk memakan es krim setelah tadi menghabiskan dua mangkok bakso khas malang.

“Sori gue lagi gak fokus, lo nanya apa tadi?”

“Belepotan tuh,” komen Naka.

“Eh jangan ngalihin topik dulu, lo tadi nanya apa cepet ngomong lagi,” kata Naia.

“Pernah denger Butterfly Effect gak?”

Naia diam sebentar, pura-pura berpikir, “Kayaknya pernah gue liat istilahnya di buku cerita tapi waktu itu gue lupa research lagi. Emang apa artinya? Lo tau, Ka?”

Anggukkan dari kepala Naka sukses membuat perhatian Naia teralih sepenuhnya. Gadis itu menatap Naka dengan serius sambil menunggu jawaban yang keluar.

“Sebenernya itu cuma metafora aja, teorinya bilang small changes in initial conditions can lead to a large-scale and unpredictable variation in the future.”

“Aduh mendadak gue gak ngerti Inggris, coba intinya aja deh.”

“Ya gue pengen tau aja perubahan apa yang bakal terjadi di masa depan nanti setelah kejadian hari ini,” kata Naka, “Dan gue harap apa yang gue lakuin tadi, gak akan ngebuat orang yang gue sayang pergi lagi dari hidup gue. Jadi, jangan pergi ya, Nai?”

Diantara teman-temannya yang lain, Karel termasuk anak yang paling diam dan gak banyak tingkah. Saat kebanyakan anak menghabiskan waktunya bermain di taman bermain khusus yang disediakan pihak sekolah, Karel justru hanya diam merenung di kelas.

Pikiran bocah lelaki itu kacau, sama kacaunya seperti keadaan di rumah dimana Papa dan Mama saling meneriaki satu sama lain.

Karel juga ingin seperti teman-teman sebayanya, ia ingin tertawa bahagia disana. Tapi bocah lelaki itu sadar bahwa ia gak bisa.

Banyak guru TK yang sudah mencoba untuk menegur Karel sekaligus mengajak bocah itu agar berbaur bersama yang lain.

Dan jawaban Karel tetap sama; ia hanya mengangguk mengiyakan ucapan setiap guru tapi gak pernah benar-benar melakukannya.

Makin lama, sifat Karel jadi makin acuh tak acuh. Beberapa guru sepertinya sudah menyerah dan hampir seluruh anak kelas juga mulai lelah membujuk.

Terkecuali satu murid perempuan yang gak pernah absen mengajak Karel bermain.

Namanya Kassa.

Selain fakta bahwa Kassa adalah teman sebangku, bocah perempuan itu juga yang menjadi teman satu-satunya yang Karel punya waktu itu.

“Kael, ayo main disana! Ayunannya lagi sepi.”

“Kamu bisa ngerjain ini gak, Kael? Kok susah ya?”

“Pulang dijemput sama siapa Kael?”

Karel ingat bocah perempuan itu masih belum bisa mengucapkan huruf R dengan jelas. Maka Kassa memanggil nama Karel tanpa huruf R.

Kael.

Sejujurnya Karel gak pernah keberatan nama panggilannya diubah begitu aja. Lagipula hal itu sudah menjadi trademark Kassa.

Karel akan jadi lebih mudah mengingatnya sampai nanti ia beranjak dewasa.


Karel ingat hari dimana ia disuruh menyanyikan lagu di depan kelas saat masih sekolah di taman kanak-kanak.

Sekujur tubuhnya gemetar, tak menyangka hari seperti itu akan datang.

Beberapa murid yang berhasil membangun kepercayaan dirinya sendiri dengan maju dan bernyanyi di depan kelas akan pulang lebih cepat. Karel yakin dia akan jadi murid yang terakhir pulang ke rumah saat itu.

Namun, dugaannya salah.

“Bu guru, kalo maju ke depan sama temen sebangku boleh nggak? Karel gak bisa kalo cuma sendirian,” seru Kassa.

Karel melebarkan mata, merasa bahwa ia gak pernah bilang begitu pada Kassa. Ingin protes, tapi ia justru mengatupkan mulut rapat-rapat karena apa yang dibilang Kassa ternyata ada benarnya; Karel gak akan bisa bernyanyi di depan kelas seorang diri. Ia butuh ditemani.

Sembari menunduk malu karena disaksikan di depan murid dan guru, Karel melirik pada tangan kirinya yang digenggam erat oleh tangan kecil milik Kassa. Bocah perempuan itu seperti ingin menyalurkan keberanian dan rasa percaya dirinya pada Karel.

Dan berkat Kassa, akhirnya rasa percaya diri Karel saat itu mulai tumbuh.

Bersamaan dengan rasa lain yang juga ikut tumbuh di lubuk hatinya.

“Mau kemana, Ka?” tanya Naia setelah Naka membawanya ke dalam mobil.

Naka gak menjawab, sibuk memasangkan seatbelt untuk dirinya sendiri dan untuk Naia. Padahal tadi Naia sudah bilang bahwa dia bisa pasang sendiri.

“Gue mau bawa lo ke suatu tempat,” Cuma itu jawaban yang keluar dari mulut Naka.

Naia gak berani bertanya lagi.

Mobil Range Rover itu akhirnya keluar dari pelataran kampus, bergabung menyesaki jalanan dengan kendaraan lain. Naia meneguk ludah sembari melirik jalanan luar lewat jendela, ia perhatikan rintik gerimis mulai membasahi kaca.

“Ka—”

“Gerimisnya cuma sebentar, tenang aja,” kata Naka, seperti bisa menjawab pertanyaan Naia yang belum sempat terucap.

Naia mengangguk paham.

Sampai akhirnya mobil itu berhenti di depan toko bunga. Naia yang tadinya hampir terlelap, jadi melebarkan matanya lagi.

“Sebentar ya, gue beli bunganya gak lama kok. Tunggu sini.”

Pernah merasakan dejavu? Nah, itu yang sedang Naia rasakan saat ini. Memori ketika ia menunggu Kemal di tempat yang sama entah mengapa menimbulkan sesak di ulu hati.

Naia kembali memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur. Sekitar sepuluh menit berlalu, barulah terdengar suara pintu mobil dibuka. Naka masuk ke dalam dengan keadaan rambut setengah basah.

Naia lantas membuka mata, lalu terkejut ketika melihat sebuket bunga anyelir ada di depan muka.

“Buat lo,” kata Naka lantas menaruh jenis buket bunga yang sama juga di kursi penumpang belakang. “A bouquet of carnations, your favorite. Am I right?

How did you know I liked this kind of flower?” tanya Naia.

I just know it,” kata Naka sambil membanting setir ke kiri, kembali membiarkan mobilnya memasuki jalan raya kota Malang. “Keliatan dari cara lo mandang bunga yang gue bawa waktu itu.”

Naia tertegun. This guy really has an unexpected way that makes her falling too deeply.

She didn't know, he was the one who falling for her first.


“Hei, wake up.”

Suara lembut Naka berbisik pelan di telinga Naia, membuat gadis yang tadinya tertidur lelap itu membuka mata perlahan. Naka mengulas senyum tipis sembari merapihkan beberapa helai rambut Naia yang berantakan.

“Sori, rambut lo—”

“Kayak rambut singa ya?” potong Naia lalu beralih merapihkannya sendiri. “Eh ini udah sampe? Gue ketiduran berapa jam?”

“Baru 20 menit, mungkin?”

“Duh sori ya, Ka? Gue kalo lagi di dalem mobil bawaannya pasti ngantuk terus.”

It's okay,” kata Naka kemudian mengajak Naia keluar dari mobil.

Setelah Naia menginjakkan kakinya di jalanan basah sehabis hujan, ia baru sadar bahwa tempatnya berdiri saat ini berada di sekitar area pemakaman.

Naka memutari mobil dengan sebuket bunga anyelir di tangan, ditatapnya Naia yang bergeming kaku tanpa suara. Raut wajah gadis itu tampak sedikit pucat.

“Naka, can we hold hands?” pinta Naia.

“Hm?”

“Gue agak... takut... tiap ke makam.....” ujar Naia pelan.

Tanpa basa-basi lagi, Naka langsung menyelipkan jemarinya di tiap sisi jemari milik Naia. Lantas ia genggam telapak tangan itu erat-erat. Menyalurkan kehangatan lewat sana sekaligus meyakinkan Naia bahwa selama ada Naka, gadis itu tidak perlu merasa takut.

I'm here beside you. So, you don't have to be afraid, okay?” ucap Naka.

Naia mengikuti langkah Naka dari belakang, masih dengan jemari mereka berdua yang saling bertaut erat. Makam demi makam mereka lewati hingga Naka berhenti, lantas berjongkok di makam sebelah kiri.

Naia ikut berjongkok di samping makam itu sambil membaca nama yang terukir di atasnya.

Namira Salsabilla.

Who is she? batin Naia penasaran. Ingin rasanya bertanya pada Naka, tapi ia yakin ini bukan waktu yang tepat. Jadi, Naia hanya bisa diam membisu di tempat.

Sembari menaruh sebuket bunga di atas pusara, Naka berbincang dengan sosok yang sudah tertimbun beberapa meter di bawah tanah tersebut. Tak pelak membuat Naia mengeratkan pegangannya pada jemari Naka.

Naia bahkan bisa merasakan tubuh Naka bergetar, lelaki itu sedang menahan tangis mati-matian.

“Naia, ini kembaran gue. Namanya Namira Salsabilla, tapi biasa gue panggil Nasa,” kata Naka, akhirnya memperkenalkan Nasa kepada Naia.

Naia lalu berpaling memandang pusara tersebut, “Hai Nasa, aku Naia...”

Sekuat mungkin Naia menahan air matanya yang hendak keluar, “Naka baik-baik aja kok disini, Nasa gak perlu khawatir ya? Nanti Naka bakal dijagain terus kok sama Naia.”

Sudut bibir Naka terangkat sedikit membentuk segaris senyum tipis.

“Semoga disana, Nasa ditempatin di tempat terbaik di sisi-Nya dan bisa bahagia selalu, ya. Soalnya kalo Nasa bahagia, Naka juga ikut bahagia disini.”

Ada hening yang tercipta lama sampai Naka menunduk dalam untuk menyeka air matanya yang jatuh tiba-tiba. Mungkin terlalu berat bagi Naka untuk merelakan kembarannya yang telah pergi lebih dulu. Naia paham itu.

She looks like you when she was alive,” ujar Naka pelan. “That's why I bring you to this place. I wanna introduce you to my beloved twins.


Sehabis berkunjung ke makam, Naka gak langsung mengajak Naia pulang. Lelaki itu bilang bahwa ia butuh waktu untuk rehat sejenak.

Maka disinilah mereka berdua sekarang, di taman bunga sepi dekat pemakaman.

Cry it out,” kata Naia, akhirnya angkat suara setelah beberapa menit mereka hanya diselimuti keheningan waktu petang.

“Apa?”

“Nangis aja kalo lagi sedih, jangan ditahan. Laki-laki juga berhak nangis kok, kan sama-sama punya perasaan.”

“Gue udah janji sama Nasa buat gak nangis tiap kesini.”

“Tapi tadi lo nangis.”

“Yang tadi gak sengaja,” elak Naka.

Hembusan napas pelan keluar dari mulut Naia seiring ia memandang langit berwarna jingga di atas sana. Persis seperti lukisan.

My mom once said when I was a child, kalo ada orang yang sedih tuh biasanya dia butuh dipeluk. Dengan begitu, rasa sedihnya bisa berkurang sedikit,” gumam Naia pelan. “Now I wonder about what she said back then is true or not.”

Naka lantas menoleh pada Naia, membiarkan gadis itu melihat sisi lemahnya lewat tatapan mata.

Then hug me.

Naia terkejut, “Hng?”

Prove it to me, Naia,” kata Naka lagi. “Hug me, please.”

“Dhanti! Ngapain lo masih disini?” sentak Naia setelah ia tiba di sekitar kantin FK yang ramai dikerubungi mahasiswa dari berbagai jurusan.

“Ini lagi seru, Nai. Liat deh! Sini cepet!” seru Dhanti.

Naia melihat ke arah yang ditunjuk Dhanti. Tepat di tengah kerumunan sana, Naka sedang sibuk menghajar lelaki lain tanpa ampun. Bahkan Kemal sampai ikut turun tangan.

Gak ada satupun mahasiswa yang mau melerai, mereka semua malah asik menyoraki jagoan masing-masing.

Dan entah bagaimana caranya, Naia dan Naka bisa saling menatap dalam diam. Seakan waktu jadi berhenti berjalan ketika kedua mata mereka saling bertemu dalam satu pandang.

Tak ada luka yang cukup serius di wajah Naka, sebab lelaki itulah yang lebih mendominasi perkelahian. Naia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sementara lawan Naka saat itu tampak bonyok sana-sini.

Naia terkejut kemudian langsung berbalik. “Gue duluan.”

“Eh mau kemana? Ini belom selese acara berantemnya!” seru Dhanti.

“Gue kelas,” kata Naia, berbohong.


“Bang, lu selain jago berantem ternyata jago nyusahin gue juga ya?” kata Ervan, dengan berani menyindir Naka.

Sekala langsung menoyor kepala Ervan.

“Jaga omongan lo, nyet! Mau lo dihajar kayak tadi?” bisik Sekala.

Ervan lantas mengatupkan mulut, takut.

Naka memutar bola mata jengah. Sama sekali gak minat buat membalas perkataan Ervan. Ia susah payah berjalan dibantu oleh dua adik tingkatnya itu menuju unit kesehatan kampus.

“Gue bisa jalan sendiri, udah lo urusin yang lain aja,” kata Naka.

“Tapi Bang—”

“Udah sana.”

Sekala menoleh ke Ervan, “Cabut.”

Sepeninggal Ervan dan Sekala, Naka ditinggal seorang diri di tengah koridor yang gak begitu ramai. Beberapa pasang mata menatap penasaran, namun Naka tampaknya gak terganggu sama sekali.

Dia cuma pengen istirahat saat ini. Sekujur tubuhnya terasa nyeri karena beberapa kali mendapat tinjuan serta pukulan.

“Eh?”

Naka berhenti melangkah saat sosok gadis menghalanginya masuk ke dalam ruangan. Itu Naia, gadis yang kemarin Naka pinjami hoodie favoritnya.

Pandangan mata Naka jatuh pada sebotol alkohol dan sebungkus kapas yang Naia bawa di genggaman tangan.

Buat apa dia bawa begituan? kata batin Naka.

Sebelum Naia sempat pergi dari hadapan Naka, lelaki itu lebih dulu meraih lengannya. Membuat Naia mau gak mau berhenti melangkah dengan jantung berdegup kencang.

“Sekarang udah percaya kalo gue bisa berantem?” tanya Naka pada Naia, pelan tapi menusuk.


Naia berdecak pelan saat kenyataan membawanya terjebak di dalam satu ruangan yang sama dengan Naka. Meski ia sedikit iba melihat kondisi Naka sekarang, tetep aja ketakutannya terhadap lelaki itu lebih besar.

“Bisa obatin sendiri kan abis ini?” tanya Naia setelah gadis itu selesai mengobati luka di bibir Naka yang tampak sobek sedikit dan beberapa memar di punggung.

Naka mengangguk, “Makasih.”

“Sama-sama, lain kali gak usah berantem kayak tadi. Gak guna,” kata Naia sebelum pergi.

Naka menghela napas panjang lantas memilih berbaring di atas ranjang. Ia menatap kosong punggung tangannya sendiri yang tampak kemerahan, efek karena terlalu kencang menonjok cowok tadi.

Saat merasakan ada sesuatu bergetar di bawah punggung, Naka bangun lagi. Hanya untuk menemukan ponsel putih tergeletak di atas ranjang yang baru aja ia tiduri.

“Naia's phone?

Dua notifikasi sekaligus muncul, tampaknya dari nomor Kian. Jemari Naka tak sengaja memencet notif, semua percakapan antara Kian dan Naia bisa ia baca dari sana.

“Hape gue! Dimana ya?”

Naka mendongak saat melihat sosok Naia masuk lagi ke dalam ruangan.

“Itu hape gue kan?” tanya Naia, menunjuk ponsel yang ada di tangan Naka.

“Iya, tadi ketinggalan disini,” jawab Naka.

Naia buru-buru merebut ponselnya dari tangan Naka, sekaligus mengecek isinya. Naka lalu bangkit dari ranjang, berjalan santai ke depan Naia yang masih panik.

“Gue gak punya pacar, belum punya tunangan juga,” kata Naka sambil menunduk memandang Naia, “Jadi, pertanyaannya udah kejawab jelas kan?”

Naia masih diam mematung saat Naka berjalan menjauh. How did he knows?

“Ah, soal bunga—” Naka menggantung kalimatnya sambil berbalik. Kali ini mereka saling berhadapan satu sama lain, “—kalo mau tau bunga kemarin buat siapa, lo harus masuk dulu ke dalam hidup gue. Then, you'll know the answer later.

“Itu hoodie lo?” tanya Kemal saat mobilnya sudah memasuki jalan raya.

Naia lantas menunduk memandang hoodie yang ia pakai. “Bukan. Ini punya.... Naka.”

Kemal langsung menoleh, tampak kaget.

“Naka? Minjemin lo hoodie?” tanya Kemal gak percaya.

“Iya. Kenapa emangnya, Mal?”

“Kayak bukan Naka aja, setau gue dia paling anti minjemin barangnya ke orang. Apalagi ke orang yang baru dia kenal.”

Naia cuma ber-oh pendek, entah kenapa bawaannya jadi males sendiri kalo udah bahas Naka.

“Eh ini gue mampir ke toko bunga dulu gapapa kan? Sebentar doang kok,” celetuk Kemal.

“Iya gapapa, Mal,” sahut Naia, “Mau ngasih buat Karin ya?”

Kemal tersenyum lebar saat nama pacarnya disebut, lesung di kedua pipinya terlihat jelas di mata Naia.

“Hahaha iya, sekalian buat surprise anniversary,” jawab Kemal.

Naia mengangguk paham sembari tersenyum miris. Lagu Justin Bieber yang berjudul That Should Be Me langsung terngiang di otaknya.

Mobil Kemal sampai di depan toko bunga samping jalan. Kemal melepas seatbelt lalu menoleh pada gadis disampingnya.

“Mau ikut ke dalem gak, Nai?”

“Disini aja,” tolak Naia.

“Oke, gue ke dalem bentar ya.”

Naia menunggu sekitar lima belas menit di dalam mobil Kemal tanpa melakukan apa-apa. Hanya memandang jalanan di luar lewat jendela sambil sesekali bersenandung kecil. Gak lama setelahnya Kemal masuk lagi ke mobil membawa sebuket bunga mawar putih.

Romantis banget si Kemal, batin Naia dalam hati.

“Eh iya, jadi gimana? Lo udah dapet pacar belum?” todong Kemal langsung.

“Hah?” sentak Naia, “Belum....”

“Yah kok belum? Mau gue cariin gak?” tanya Kemal menawarkan sembari tangannya sibuk memutar kemudi mobil.

“Gak usah deh, Mal. Lagian gue lagi nungguin cowok yang gue suka putus sama pacar—”

Kemal tersentak, Naia juga ikut tersentak saat mobil yang mereka tumpangi malah menabrak mobil yang sedang parkir di depan. Naia gak jadi melanjutkan kalimatnya karena kelewat kaget.

Itu kan mobilnya Naka?

“Eh aduh sori, Nai. Gue lagi gak fokus. Lo gapapa kan?” tanya Kemal memastikan. Naia hanya mengangguk sebagai jawaban.

Kemal keluar dari mobilnya sendiri untuk mengecek keadaan mobil yang barusan gak sengaja ia tabrak. Tampak beberapa baret cukup parah di bagian belakang mobil Range Rover tersebut.

“Mampus nih gue,” gumam Kemal.

Naia lantas turun dari mobil untuk menghampiri Kemal lalu dibuat melotot setelah menyadari bahwa mobil itu benar-benar mobil milik Naka.

“Ka, sori banget sumpah gue gak sengaja nabrak belakang mobil lo,” kata Kemal begitu melihat Naka baru saja keluar dari toko bunga.

“Yaelah, santai aja, Mal.”

Naia mengikuti arah pandang Kemal, gadis ini memandang Naka dalam diam. Lalu tatapan kedua matanya jatuh pada sebuket bunga yang sedang Naka bawa.

Itu bunga anyelir! Salah satu bunga favorit yang paling Naia suka.

Gadis itu jadi penasaran. Kalau tadi Kemal sengaja membeli bunga untuk Karin, lantas sebuket bunga yang ada di tangan Naka saat ini untuk siapa?

“Naia, lo harus bisa keluar dari sini tanpa ketauan Naka. Harus!” kata gadis berkuncir kuda dibalik pintu sebuah kosan minimalis.

Naiara Ashiella, namanya. Biasa dipanggil Naia. Tapi katanya sih gadis itu lebih suka dipanggil sayang.

Sembari mengintip lewat jendela, ia memicingkan mata. Pandangan kedua netra terpaku pada sosok berhoodie hitam yang menunggu di depan pagar utama. Perawakannya lumayan serem, sebelas dua belas sama malaikat maut. Karena pada pagi itu, Naka memakai pakaian warna hitam dari atas sampai bawah.

Naia menghela napas, lalu mengendap keluar lewat pintu gerbang belakang saat dilihatnya Naka mulai lengah.

Untungnya, misi Naia berhasil. Dia gak ketauan.

“Hadeh gue kudu jalan sampe depan dong biar bisa naik angkot? Bangsat nih Kian ngerjain gue mulu,” keluh Naia.

Dalam perjalanan menuju pertigaan depan, Naia merogoh ponsel di dalam tas. Berniat membuka blokir untuk memaki-maki Kian lewat kolom pesan. Begitu mobil Range Rover lewat di dekatnya, gadis itu berjengit kaget.

Apalagi saat air kubangan di jalanan terciprat ke arahnya hingga kemeja gadis itu kotor di beberapa bagian.

“Anjrit? Kon kayak asu!” seru Naia. (Kamu kayak anjing!) Tentu saja gadis itu neriakin pengemudi mobil yang barusan lewat.

Mobil itu pun berhenti. Naia ikut menghentikan langkah. Saat dilihatnya pengemudi mobil tersebut mulai keluar, Naia mulai panik.

”... Naka??”

Mampus Naia, rest in peace dah.

Naka keluar dari mobil Range Rover miliknya dengan tatapan cemas. Naia meneguk ludah, langsung menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan.

Emang ada baiknya gue mati muda aja kali ya, batin Naia.

“Hei? Sori gue gak liat ada kubangan disitu tadi. Baju lo...” Naka hendak meraih tangan Naia, tapi ia justru terpaku di tempat.

Loh? Ini kan temennya Kian? batin Naka.

“Gapapa, baju gue gapapa,” kata Naia denial. Padahal udah jelas banget kemejanya kotor. “Gak usah merasa bersalah, soalnya ini salah gue. Oke? Udah ya gue mau ke kampus!”

Semesta seakan gak mau membiarkan Naia merasa aman barang sedetik aja karena beberapa saat setelah ia berbalik memunggungi Naka, Naia malah tersandung oleh tali sepatunya sendiri.

Tepat di depan Naka.

Nai? Goblok banget!

“Hei— kalo jalan liat-liat dong!” seru Naka, suaranya terdengar panik. Ia lantas mengulurkan tangan, berniat membantu Naia berdiri.

Thanks, gue bisa sendiri,” tolak Naia.

Naka berdecak samar kemudian membuka hoodie-nya saat itu juga dihadapan Naia.

“Eh?? Mau ngapain lo???” seru Naia sambil buang muka.

Naka mengulurkan hoodie-nya ke depan Naia, “Pake.”

Naia melongo, apalagi waktu melihat Naka hanya mengenakan kaos hitam polos setelah berhasil melepas hoodie.

Sekarang Naia baru percaya kata orang-orang yang bilang bahwa cowok yang cuma pake kaos hitam polos tuh tingkat kegantengannya jadi berkali-kali lipat.

“Mau gue yang pakein atau lo pake sendiri?” tanya Naka tegas.

Naia lantas mengambil hoodie itu dengan ragu. “Tapi ini buat apa?”

“Emangnya lo yakin mau ke kampus pake kemeja kotor? Mikir kek,” sahut Naka.

Naia mendengus, “Kan gak boleh pake hoodie ke kampus?”

“Bilang aja lagi gak enak badan, dosen-dosen pasti bakal maklumin. Lagian kalo lo mau balik ke kosan, waktunya gak cukup. Sepuluh menit lagi kelas lo mulai kan?” tanya Naka.

“I... iya.”

“Yaudah, cepet masuk mobil. Kian udah nitipin lo ke gue, berarti gue yang tanggung jawab bawa lo sampe ke kampus hari ini.”


Gak ada yang memulai percakapan sama sekali dalam mobil itu. Naka fokus menyetir sementara Naia bergerak gelisah di jok penumpang. Tadinya Naia udah berniat mau minta maaf ke Naka, tapi urung begitu melihat Naka tampaknya lagi gak mau diajak bicara.

Ketika mobil Range Rover itu memasuki pelataran Fakultas Teknik lalu berhenti di area parkir, Naia buru-buru membuka pintu mobil.

You owe me an apology, by the way,” celetuk Naka, sontak membuat pergerakan Naia berhenti seketika.

Sorry, gue bener-bener gak ada maksud mau nantangin lo lewat tweet gue yang kemarin,” kata Naia pada akhirnya. “Maaf kalo kesinggung.”

Naka memandang Naia sambil manggut-manggut, “Bagus deh, gue juga gak mau berantem sama cewek. Soalnya lo bukan tandingan gue.”

Tahan, Naia. Gak boleh ngomong kasar di depan malaikat maut. Entar nyawa lo kecabut.

Setelah permintaan maaf itu diterima, Naia langsung keluar dari mobil. Melangkah tergesa menuju kelas sampai menghiraukan beberapa pasang mata yang menatapnya aneh. Mungkin karena Naia mengenakan hoodie hitam yang cukup mencolok.

Bodo amat deh, gak peduli! batin Naia.

Little did she knows, Naka justru mengikuti langkah Naia sampai ke depan pintu kelas. Itulah alasan kenapa beberapa pasang mata mahasiswa tertuju pada mereka berdua pagi itu.

“Ada apa sih? Kayaknya tadi denger suara teriakan.”

“Iya, Mba, aku juga denger. Dari rumah yang kosong itu.”

“Bukannya itu rumah udah ada yang nempatin ya? Tadi saya sempet liat ada yang masuk ke rumahnya. Cewek gitu, mungkin anak kuliahan.”

Karel keluar dari persembunyian tepat saat keadaan di sekitar rumahnya mulai ramai dikerebungi warga kompleks. Mereka bergerumul di depan sebuah rumah, mencoba menilik ada kejadian apa di dalam sana. Kalau tidak salah tangkap, Karel juga sempat mendengar suara teriakan yang asalnya dari rumah dengan nomor alamat 4 itu. Suaranya cukup familiar, seperti suara Tante Yola.

Shit. Why is everyone gathered here? It's just gonna get me into trouble, batin Karel.

Garis kuning polisi membentang di depan pintu rumah membuat beberapa warga sekitar yang penasaran tidak bisa masuk ke dalam sana. Sebagian mengeluarkan protes, tetapi dua polisi yang berjaga dekat pintu itu tak ingin menghiraukan.

Karel mendengus. Ia yang tau inti permasalahan itu mencoba untuk menerobos masuk tanpa takut. Seorang polisi muda langsung menahan langkahnya.

“Maaf, yang gak berkepentingan dilarang masuk.”

I wanna know what the hell was happened in this house. Let me in,” kata Karel tegas.

Just let him in,” ujar polisi muda yang satunya. Karel melihat name tag yang terpasang di seragam polisi itu, nama Hanan terukir disana.

Oh, he was one of Joel's acquaintances.

Begitu diperbolehkan, Karel langsung melangkah masuk. Melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana chaosnya keadaan di dalam rumah tersebut. Tante Yola sedang berbincang dengan dua pihak kepolisian di ujung ruangan. Atensi Karel hanya tertuju pada sebuah koper yang sudah terbuka, menampakkan jasad seorang perempuan disana. Ia lantas menghela napas panjang.

Shit. I'll got caught then, I guess?” gumam Karel pelan. Bahkan sangat pelan hingga yang dapat mendengar hanyalah dirinya sendiri.

No, you won't,” sahut suara bariton seorang lelaki.

Karel menoleh kaget. Polisi itu, Hanan, tiba-tiba saja sudah berdiri disampingnya dengan pandangan lurus menatap ke depan – ke tempat dimana jasad itu ditemukan dengan keadaan naas dalam koper. Jantung Karel berdetak kencang, mengira dirinya akan ditangkap saat itu juga oleh polisi bernama Hanan. Namun ternyata, dugaannya salah.

You won't get caught.”

The police was on his side.

Seharusnya Karel paham, siapapun yang berada di pihak Joel maka akan berada di pihaknya juga. That's mean polisi itu gak akan menangkap Joel maupun Karel meskipun ia tau siapa dalang dibalik kekacauan hari ini.

What the hell is going on?!”

Semua atensi orang-orang yang masih berada di TKP kini tertuju pada seorang gadis berambut panjang yang baru saja menerobos masuk. Polisi bernama Hanan dengan sigap menahan pergerakan gadis itu. Raut wajahnya menyiratkan kepanikan yang kentara, kedua bahunya naik turun dengan deru napas memburu.

“Ah, Cherissa? You are the new owner of this house, right?”

“Iya... Pak, ini ada apa ya?” tanya Cherissa, tampak clueless.

“Anda akan kami tahan karena sudah menyembunyikan mayat dan menghalangi investigasi.”

What? I do nothing! Why am I arrested?

Tante Yola langsung menginterupsi, “Pak, ini ada salah paham. Saya udah bilang anak ini gak mungkin—”

Well, she can explain that in the police office,” ujar polisi itu.

Cherissa, gadis itu, tampak memberontak saat kedua tangannya mulai diborgol oleh salah satu polisi. Ia masih berteriak tidak terima meski polisi sudah berkali-kali menjelaskan alasan ia ditangkap.

“Demi Tuhan, saya gak ngapa-ngapain Pak! Saya aja takut sama darah mana mungkin saya nyembunyiin mayat di dalem rumah saya sendiri? Lagian saya baru aja pindah kesini, Pak!”

Karel mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat bagaimana pihak kepolisian lagi-lagi menangkap gadis tidak bersalah di depan matanya. Ah, sampai kapan ia harus menghadapi kejadian seperti ini?

See? You won't get caught,” kata Hanan lagi sambil menepuk pundak Karel. “Well, have a nice day, Karel Erlangga.”

A Chapter of Flashback.

“Posisi target?”

Karel mengaktifkan earphone di telinganya yang tersambung dengan telepon Tara. Selagi pandangan kedua mata Karel menyapu sekitaran kelab malam yang disesaki kerumunan orang mabuk, kakinya melangkah mencari keberadaan target ke seluruh penjuru tempat.

“Arah jam 10,” jawab Tara.

Karel menoleh, melihat targetnya kali ini sedang berkumpul dengan beberapa gadis seksi di pojok ruangan. Karel lalu menoleh pada Tara yang stand by di lantai atas sambil mengangkat alis.

“Sikat.”

“Okay, then. I am on my way,” kata Karel.

“K, good luck ma bro.”

Sambungan telepon terputus.

Karel menyiapkan senjata yang diberikan oleh Sean di saku jaket hitam. Katanya senjata kecil itu mampu membunuh orang tanpa meninggalkan suara keras layaknya pistol atau revolver. Sean bilang dampak dari senjata itu memberikan efek sengatan listrik cukup hebat hingga mampu merusak cara kerja jantung sang target.

Kalau dipikir-pikir, cara tersebut lebih efisien daripada Karel harus membawa target keluar kelab malam dan mengeksekusinya dengan pistol kebanggaan yang ia miliki.

Sembari menenggak vodka, Karel mengamati gerak-gerik targetnya lamat-lamat. He seems like a good guy but actually a bastard inside. Dua jam menunggu, sang target masih setia berada disana bersama kawanan gadisnya.

Karel mendengus jengah.

Those bitches are surrounding on him. Gue gak bisa jalan kalo gini caranya,” kata Karel saat teleponnya tersambung lagi dengan Tara yang masih berada di lantai atas.

“Bentar, gue suruh Ergi yang ngurus jablay-jablay itu.”

Karel melihat targetnya berdiri meninggalkan tempat terakhir. Otomatis lelaki itu ikut berdiri sambil menahan pening yang melanda karena terlalu banyak menenggak vodka. Tara, dari ujung sana, berkali-kali menyadarkan Karel agar tidak hangover.

“Goblok, kan udah gue bilang jangan kebanyakan minum.”

“Sori, abis gue ketagihan.”

“Si tolol.”

Rasa pening itu makin menghampiri saat kedua kaki Karel berusaha mengejar langkah sang target yang berada beberapa meter di depannya. Suara makian dari Tara di telepon tak ia hiraukan. Begitu sudah dekat pintu keluar, Karel mengeluarkan senjata kecil dari jaket dan berniat mengulurkan tangannya menuju bagian belakang kepala sang target sambil tetap berlari kecil.

Namun malangnya, Karel kalah cepat. Seorang gadis sudah lebih dulu menghantam kepalanya dengan sebuah batako.

Karel tak sempat melihat bagaimana perawakan gadis yang berani menghalangi misi kali ini sebab ia terjatuh di tempat dan tak sadarkan diri setelahnya. Sementara gadis yang entah siapa namanya itu segera membawa kabur sang target dari tempat.

Sadly that night, Karel was ruined the mission.