A Night To Remember.
Sembari mengecek penampilan di depan kaca lemari, Naia lantas mengoles sedikit make up lagi di wajahnya. Ia juga bolak-balik memperhatikan dress yang dipakainya hari ini, dress putih pilihan Bundanya Naka.
Jam masih menunjukkan pukul empat sore, setengah jam lagi Naka bilang akan menjemput Naia. Dan jantung Naia sudah berdegup kencang sejak satu jam yang lalu.
Tak berapa lama kemudian, mobil Naka sampai di depan rumah Naia. Gadis itu mengintip dari jendela kamar atas, tampak Naka sedang berbincang dengan Papa di luar rumah sana.
“Calm down, Nai. Lo ini cuma mau ketemu keluarga besarnya Naka, bukan mau nikah,” kata Naia, bermonolog sendiri.
Suara Papa terdengar dari lantai bawah, menyuruh Naia untuk segera turun. Alhasil gadis itu melangkahkan kakinya dengan ragu turun menemui Naka yang sudah menunggu di luar.
“Sebelum jam sembilan ya, Ka,” ujar Papa mengingatkan Naka untuk memulangkan anaknya tepat dengan waktu yang diminta.
“Siap, Om. Naia bakal saya pulangin jam setengah sembilan, Om gak perlu khawatir.”
Naia mendengus pelan, “Kok jam sembilan sih? Naikin dikit kek Pa jadi jam sepuluh!”
Papa mencibir, “Gak usah ngelunjak kamu.”
Naka tertawa melihat interaksi antara Naia dengan Papa yang bisa bercanda sebebas itu. Karena jujur, Naka belum pernah bertindak demikian di depan Ayahnya sendiri. Meski Ayah terhitung lumayan sering melempar gurauan, Naka gak pernah membalasnya dengan gurauan lagi.
Ayah termasuk orang dengan kepribadian yang keras dan Naka jarang sekali bertemu dengan sosoknya di rumah sejak masih kecil. Mungkin itulah alasan mengapa ia dan Ayah masih terbilang kurang dekat sampai saat ini.
“Yuk, Nai?” ajak Naka sambil mengulurkan satu tangannya mengajak Naia untuk bergandengan.
Naia tersenyum lebar sembari menyambut uluran tangan itu. Kemudian ia berbalik, melambaikan tangan pada Papa.
“See you, Pa. Naia pacaran dulu ya!”
Sesampainya di kediaman rumah Naka, Naia gak langsung melepas seatbelt dan turun dari mobil. Ia diam dulu selama beberapa saat di kursi penumpang, berusaha mencerna apa saja yang telah terjadi beberapa hari belakangan sampai ia ada di titik ini. Titik dimana ia bisa menjalin hubungan dengan seorang Narendra Rakabumi.
“Ayo turun,” kata Naka setelah melepas seatbeltnya dan seatbelt Naia.
“Bentar, Ka. Aku lagi mikir,” ujar Naia.
Naka mengangkat satu alisnya, “Mikirin apa sih?”
“Kok bisa ya Ka kita sampe pacaran begini? Padahal kan dulunya kita gak saling kenal.”
“Takdir, Nai,” jawab Naka sambil menuntun gadis itu turun dari mobil lantas menggandeng tangannya erat-erat.
Naia menarik ujung jas yang malam itu dikenakan Naka, “Takut....”
“Kenapa lagi?”
“Aku takut keluarga kamu gak menyambut aku sehangat Bunda,”
Naka menghentikan langkah, otomatis membuat Naia yang berada di belakang melakukan hal yang sama. Sembari terus memusatkan tatapannya pada Naia, Naka menangkup kedua pipi gadis itu.
“Gak perlu overthinking sampe segininya, Nai. Kan ada aku, jadi jangan takut.”
Naia menghela napas, “Iyaa.”
“Act normal, santai aja. Oke sayang?”
“Oke.”
Perayaan anniversary pernikahan itu dimulai pukul setengah tujuh malam. Ayah dan Bunda tampak mesra di tengah spotlight panggung kecil yang sudah disediakan oleh keluarga besar. Meskipun penuaan hampir memakan sebagian dari umur mereka berdua, tetap saja keharmonisan dan keromantisan itu terpancar jelas terlihat dari senyum bahagia yang mereka tampilkan pada malam hari yang indah itu.
Naia terkesima memandang kedua orang tua Naka di tengah sana. Gelagat mereka tak kalah romantis seperti pasangan goals yang biasa ia lihat di Instagram atau platform sosial media lain, bedanya kini Naia bisa menyaksikan hal itu secara langsung. Dan rasanya, diri Naia seperti ikut ditarik untuk merasakan bahagia yang sama.
Naka menunjuk ke tempat dimana Ayah dan Bundanya menjadi pusat perhatian, “Liat deh, beberapa tahun lagi kita yang ada disana.”
Naia lantas menoleh pada Naka, meminta penjelasan dari perkataannya barusan.
“Ini udah jadi tradisi di keluargaku, Nai. Tiap ada pasangan yang lagi ngerayain hari pernikahannya, pasti dibikin acara persis kayak gini,” kata Naka menjelaskan, “Mungkin beberapa tahun lagi kita bisa nyusul?”
Naia spontan terkekeh, “Masih lama kali.”
Setelah acara penyambutan dan pemberian selamat selesai, mereka semua dipersilahkan untuk menikmati hidangan makan malam di suatu meja besar yang telah disediakan.
Naia memilih tempat duduk paling ujung, sengaja menghindari kerumunan keluarga besar Naka yang belum ia kenal. Naka duduk disamping Naia sementara kedua orang tua Naka duduk tepat dihadapannya.
“Udah berapa lama kalian pacaran?” tanya Ayahnya Naka.
Naia yang masih sibuk menyicipi hidangan lantas menyenggol lengan Naka, menyuruh lelaki itu untuk menjawab pertanyaan.
“Sebulan lebih,” jawab Naka singkat.
Ayah mengangguk paham, “Sudah kenalan kamu sama orang tua Naia?”
“Udah, Yah.”
Naia bisa merasakan atmosfer canggung diantara hubungan ayah dan anak itu. Naka sempat bilang bahwa ini pertama kalinya ia bertemu dengan Ayah setelah bertahun-tahun Ayahnya itu sibuk melakukan penerbangan ke berbagai negara dan hampir gak punya akses bebas untuk pulang ke rumah. Makanya intensitas mereka berdua untuk bertemu sangat jarang sekali.
“Oke, jadi kapan kalian ada rencana mau mengadakan acara tunangan?”
Pertanyaan yang terlontar dari Ayah itu mampu membuat Naia keselek minumannya sendiri. Naia lantas menoleh pada Naka, menunggu jawaban lelaki itu.
“Secepatnya, Yah.”